Thumbnail

StreamWTF

Cerita Dewasa - Keluarga Gila

Rina duduk di pematang sawah yang kering akibat kemarau berkepanjangan. Di depannya terlihat ibunya yang sedang kencing tanpa malu dan atau mencoba menutupi kegiatannya. Mau tak mau, Rina melihat urin yang keluar dari selangkangan mamanya. Teriknya matahari membakar wajah dan atau kulit Rina. Juga membuat tenggorokan Rina kering.

Selain ibunya, Rina juga sering melihat tante dan bahkan kakaknya kencing di hadapannya. Detik berganti dengan menit dan menit pun silih berganti.

Kini Rina telah memiliki anak bernama Erna. Seorang siswi menengah pertama yang sudah mulai mens sedari dasar. Detik berganti dengan menit dan menit pun silih berganti.

Rina memilah isi keranjang pakaian kotor putrinya lantas mengeluarkan cd kotor putrinya. Rina hirup aromanya. Terlihat secuil bercak kekuningan yang lantas Rina jilat dan hisap meski tidak mengeluarkan tetesan.

Setelah dirasa puas, Rina mengambil cd putrinya lantas ke kamarnya dan mengunci pintu. Setelah terkunci Rina langsung merebahkan diri di lantai tanpa pusing – pusing ke kasurnya. Rina kembali menikmati cd putrinya itu.

“Kenapa bersih amat sih membersihkan memeknya?” batin Rina sambil menghirup aromanya.

Saat tangan kiri memegang cd putrinya, tangan kanan Rina langsung menyusup ke dalam cdnya sendiri lantas mengelus – elus klentitnya sendiri. Elusan tangan di kelentitnya membuat Rina cepat keluar. Aneh, padahal saat bercinta dengan suaminya, Rina tak pernah keluar secepat ini.

Meski telah keluar, namun Rina merasa belum puas seutuhnya. Dengan enggan, Rina kembalikan cd putrinya ke keranjang sebelumnya. Saat di kamar putrinya, Rina melihat wadah tissue yang kosong. Rina lantas ke warung dengan maksud membeli tissue.

Baru saja melangkah dengan pasti keluar pintu rumah, Rina dikejutkan oleh seorang kakek yang memegang tongkat di tangan kiri sedang tangan kanan dalam posisi meminta.

Rina tidak merasa iba, namun tangannya tetap memberi recehan.

“Terimakasih bu, semoga rezekinya semakin banyak dan segala maksud dan tujuan tercapai.”


“Iya, sama – sama kek.”

Di perjalanan, tiba – tiba Rina merasa mendapat wangsit yang mengatakan agar Rina membeli Tisu yang banyak.

“Wah, jangan – jangan ini efek sedekah kali?” batin Rina.

DI rumah, tisu yang banyak itu Rina ambil satu bungkus lantas ditaruh di kamar putrinya. Sisanya Rina ambil dan diremas hingga membentuk bola. Bola – bola tisu itu lantas disumpal ke jalur pembuangan di kamar mandi.

Setelah selesai menyumpal, Rina sabar menanti kepulangan putrinya.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Ayo makan dulu, udah mama siapin perkedel buat kamu.”

“Asik. Wah, ini ada kelapa muda siapa nih mah?”

“Siapa yah? Siapa lagi kalau bukan buat kamu.”

Erna makan dengan lahap, tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Dulu Rina suka menyuruhnya untuk langsung ganti pakaian, namun Erna jarang menurut. Akhirnya Rina biarkan saja.

“Gimana sekolahnya sayang?”

“Gak gimana – gimana mah. Ini beli di mana sih mah, air kelapanya banyak bener. Dagingnya malah sedikit.”

“Tadi ada yang lewat. Tumben kamu sudah pulang jam segini.”


“Yah mama, pulang jam segini dibilang tumben. Giliran telat setengah jam aja dimarahi.”

“Namanya juga orangtua. Wajar kalau cemas. Apalagi zaman sekarang.”

“Emang kenapa kalau zaman sekarang mah?”

“Mama takut kamu dibawa temen terus diapa – apain.”

“Diapa – apain bagaimana?”

“Mama takut kamu diculik sayang.”

“Mama mah gitu aja ngomongnya. Bukannya ngomong yang baik – baik. Ya udah, biar gak ada yang nyulik, ntar – ntar pulangnya minta dianterin temen deh.”

“Temen siapa? Pacar? Kamu belum boleh pacaran, masih kecil.”

“Emang kenapa mah? Temen aja udah banyak yang pacaran.”

“Pokoknya gak boleh.”

“Ya udah, Erna mau kerjakan pr dulu di rumah temen.”

“Temen siapa?”


“Sukma mah.”

“Ganti dulu pakaiannya.”

“Iya dong mah.”

“Mah, kayaknya kamar mandinya mampet tuh.”

“OH gitu? Ya udah ntar nunggu papa dibetulin deh.”

“Oh, yang udah Erna pamit dulu ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

Begitu putrinya keluar, Rina langsung melepas busana hingga tiada sehelai benang pun menempel di tubuhnya. Rina lantas beranjak ke kamar mandi. Di kamar mandi terdapat genangan air agak kekuningan campuran urin anaknya dengan air.

“Untung gak kencing di kloset,” batin Rina.

Rina lantas berlutut dan kedua tangannya menyentuh lantai. Mulutnya mulai minum mencicipi. “Ohhhh…” lenguh Rina. Lantas kembali minum. Tangan kanan Rina mulai mengelus klentitnya. Elusan dan tegukan membuat Rina keluar dan kembali melenguh. “Ohhh…”

Tubuh Rina mengejang hingga membuatnya tak tahan berlutut. Rina berbaring di lantai dan langsung terpaku saat melihat wajah putrinya yang terlihat jijik.

Saat mata Rina mulai berkedip, putrinya melangkah pergi. Dapat Rina dengar suara pintu depan yang ditutup dengan keras.

“Erna mana mah?”

“Lagi kerja kelompok pah di rumah sukma.”

“Sampai jam segini?”

“Iya. Katanya juga mau sekalian nginep.”

“Tumben mama izinin.”

“Iya pah, mama juga mesti belajar memberinya tanggung jawab. Lagian dia juga udah mulai gede.”

“Wah, ada apa nih tumben – tumbenan.”

Setelah meluangkan waktu di tempat pemakaman umum setempat, Erna mulai memikirkan langkah yang akan diambil. Memang, saat butuh ketenangan, Erna lebih memilih menyepi di tempat pemakaman umum.

Sekitar jam sembilan malam, Erna datang tanpa dendam, dia terima keadaannya.

“Lho, katanya mau nginep di rumah temen, kok gak jadi?”

Erna diam menyadari pertanyaan mama. Setelah menebak arah pembicaraan, maka Erna pun buka mulut, “Iya, gak jadi mah, males ah.”

“Betul itu, apalagi ayah tidak setuju kamu bermalam di rumah teman.”

“Iya yah. Erna tidur dulu.”

Rina mendesah gelisah saat sedang digauli oleh suaminya. Bahkan hingga suaminya tidur, pikiran Rina masih melayang menyadari ketenangan anaknya.

Sekitar dua minggu Rina menderita akibat anaknya tidak berbicara dengan dia. Namun, Rina tak berani berbicara lebih dahulu. sumber

“Cukup satu kata, kenapa?”

Rina paham akan maksud dan tujuan dari pertanyaan putrinya itu. “Kehidupan rumah tangga, meski terlihat bahagia tapi tetap membuat mama stress. Memang kadarnya tidak separah orang lain. Tetap saja, keinginan untuk membahagiakan suami dan melihat kamu sukses terkadang membuat urat syaraf mama menegang.

“Namun, saat mama mencium aromamu, aroma pakaianmu, mama merasa mendapat pelarian dari stress dan tuntutan kehidupan. Mama seperti mendapat wangsit, keseimbangan, nilai plus dan min.

“Mama merasa plus mama terpenuhi saat menjalankan peran sebagai seorang istri dan atau ibu. Lantas, mama merasa min mama terpenuhi saat mama melakukan apa yang, mungkin bagi orang lain, kotor.”

Hening.

Hening..

Hening…

“Kalau memang itu yang mama mau, biar Erna bantu mama mengekspresikan diri tanpa khawatir akan penilaian dari Erna. Itu juga kalau mama setuju.”

“Maksudmu apa?”

Tangan Erna lantas mengelus kepala mama. Rina diam saat kepalanya dielus putrinya. Saat elusan sedikit menggenggam, maka kepala Rina mengikut langkah tangan putrinya.

Rina kini berlutut seiring dengan tekanan pada kepalanya. Tanpa Rina sangka, kepalanya masuk ke dalam rok pendek yang dipakai putrinya hingga wajahnya mengenai celana dalam putrinya.

“Minum semua mah, hisap dan jilat kalau perlu!”

Sebelum benar – benar mengerti perkataan putrinya, tiba – tiba wajah Rina basah oleh urin yang merembes dari celana dalam putrinya. sumber

Setelah paham, Rina membuka mulut dan berusaha membuat urin putrinya masuk ke mulut. Setelah tak ada lagi aliran urin yang keluar, Rina meneguk hingga habis. Karena masih basah, celana dalam putrinya dihisap oleh Rina.

“Enak. Terus jilat… Oh… Buka mah, buka cd Erna!”

Rina menurut. Dengan tangannya Rina menurunkan CD putrinya hingga lepas. Setelah itu, kepala Rina kembali dibimbing menuju ke selangkangan putrinya.

“Bersihin dong mah”

Jilatan Rina semakin semangat saat kepalanya dielus – elus.

“Enak mah… Terus jilat… ahhh… disana mah… ah…”

Rina menghentikan jilatan saat putrinya orgasme. Rina biarkan tubuh putrinya menikmati hasil dari jilatannya.

“Sudah mah ah, capek. Rina mau rebahan dulu.”

“Iya nak.”

Rina senang akhirnya putrinya mau berbicara dengannya.

Rina senang akhirnya putrinya mau memenuhi keinginannya.

Rina senang akhirnya apa yang dilakukannya kembali diulangi oleh putrinya.

Jika dan hanya jika putrinya mengelus kepalanya, maka Rina pasrahkan kepalanya dipandu oleh tangan kecil putrinya.

Detik – detik berganti jadi menit dan menit pun silih berganti.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Eh sudah pulang nak.”

“Iya. Aduh…”

“Kenapa sayang?”

“Cepet berlutut mah?”

“Berlutut?”

“Iya, sudah, jangan banyak tanya dulu.”

Saat Rina berlutut, Erna melepas rok birunya hingga kini terlihat cd putihnya, yang meski tak seputih salju namun tetap sedap dipandang. Erna berdiri agak jauh dari mama yang berlutut sambil melihatnya. Setelah itu Erna ngompol. Cairan urin merembes menuruni kakinya. Ada juga yang menetes langsung ke lantai.

“Diam dulu ya mah, jangan ngapa – ngapain sebelum Erna bilang.”

“Iya sayang.”


Hidung Rina begitu dekat dengan selangkangan putrinya, namun tidak mengenai. Terasa elusan sayang di rambutnya dari tangan putri kecilnya itu.

“Ayo mah, hirup saja, tapi jangan kena ya.”

Rina menurut. Rina menghirup tanpa terasa waktu berjalan.

“Sekarang hisap mah, puas – puasin mama.”

Rina menghisap cd putrinya hingga urin yang ada masuk dan ditelan. Rina tetap menghisap dan menjilat cd putrinya meski kini sudah tak ada lagi cairan urinnya.

“Masih ingin mah?”

“Iya sayang.”

“Kalau begitu, jilatin saja yang tadi mengalir di kaki Erna.”

Tanpa menjawab, Rina langsung menjilati kaki putrinya.

“Geli mah…” namun Erna tak menghentikan jilatan mama. “Sudah mah, Erna gak tahan kalau berdiri.” Kini tangan Erna sedikit menjambak rambut mama. Saat mulai melangkah, Erna merasa mama akan berdiri.

“Mama jangan berdiri, majunya berlutut aja, atau merangkak sekalian. Kan biar Erna pandu ini pake rambut mama.”

Rina hanya mampu menurut saat dibimbing merangkak hingga ke ruang tv. Di sana, putrinya duduk dan kepalanya kembali di arahkan ke selangkangan putrinya.

“Lepasin dong celana Erna mah.”

Erna memegang cd anaknya, namun tangannya langsung ditampar oleh putrinya.


“Jangan memakai tangan. Gigit saja mah!”

Erna menggigit cd anaknya, pelan dan perlahan, hingga lepas.

“Jilatin lagi mah!”

Jilatan dan jilatan kembali dilancarkan oleh Erna.

“Enghh… terus…” rintih Rina sambil menggerakkan selangkangan hingga turut menggesek hidung mamanya. Rintihannya berubah jadi lolongan saat kepalan tangannya menjambak rambut mama dan menekannya.

“Enak mah,” ritih Rina sambil terengah – engah.



Detik – detik bergant jadi menit dan menit pun silih berganti.

Aktifitas Erna dan anaknya berlanjut tanpa sepengetahuan yang lain. Bagi Erna, menikmati urin putrinya serasa menikmati obat pengharmonis rumah tangga. Karena, suami makin sering menjamah dirinya, bahkan pernah suatu ketika mengatakan kalau dia merasa istrinya makin bernafsu.

Tentu saja segala hasrat yang ditimbulkan putrinya harus mendapat pelampiasan. Dan dalam kasusnya, suamilah yang menjadi pelampiasannya.

Erna pun melihat putrinya lebih riang. Suatu ketika, Erna melihat putrinya sedang nonton tv sambil nungging.

“Kamu kenapa sayang, kok nonton tvnya sambil begitu?”


“Iya mah, nunggu mama. Sengaja.”

“Sengaja?”

Erna melihat putrinya menepuk – nepuk pantatnya sendiri.

“Sini mah, bukain celana Rina!”

“Hah, digigit lagi?”

“Boleh, tapi terserah mama saja.”

Erna menurut. Erna mendekat. Erna melorotkan celana pendek lantas cd putrinya. Saat sudah mencapai lutut, satu lutut Rina diangkat sehingga bagian kirinya bisa dilorotkan lagi. Pun dengan bagian kanan, hingga akhirnya tidak bercelana, pendek maupun dalam.

Erna mengelus pantat putrinya, melebarkan hingga anusnya terpampang jelas.

“Cantiknya…” Erna menghirupnya “hm… segar…”

“Masa sih mah?”

“Iya sayang.”

“Duh rasanya mau kencing nih. Mama mau gak?”

Erna menganggukan kepala?

“Mau gak mah? Kok gak jawab?”

“Iya.”

“Iya apa?”

“Iya mau.”

“Iya mau apa?”

“Iya, mama mau minum kencing kamu.”

“Oh, kalau begitu, coba berbaring mah. Mulutnya taruh dibawah selangkangan Rina!”

Erna melakukan apa kata putrinya. Erna berbaring di, kepalanya ada di bawah selangkangan putrinya. Sementara itu, putrinya kini jongkok lantas.

“Buka mulutnya mah. Tapi jangan dulu ditelan, meski nanti mungkin penuh.”

Erna merasakan urin putrinya mulai membasahi wajah, mengisi mulutnya hingga penuh dan luber.

Setelah selesai kencing, Rina melihat mulut mama penuh dengan urinnya. Rina lantas menutup hidung mama dengan jemarinya.

Erna bingung saat tangan putrinya menutup hidungnya.

“Kalau Rina tutup hidung mama, berarti mama harus menelan kencing Rina.”

Setelah mendengar penjelasan putrinya, Erna lantas menutup mulut dan minum hingga tegukannya terdengar oleh putrinya.

“Udah habis mah? Sekarang tolong jilatin memek Rina hingga bersih ya mah?”

Tanpa menunggu jawaban, Rina menurunkan memek hingga mengenai lidah mamanya. Memeknya kini dijilati.

“Bagus mah. Hayati, kalau gini kan Rina jadi punya toilet pribadi.”

Erna menjilati tetesan urin di paha putrinya, lantas di memeknya. Setelah itu di bagian jembut tipisnya.

Setelah merasa cukup, Rina berdiri dan duduk di kursi.

“Sudah mah, bersihin lantainya sekalian.”

Erna menurut dan membersihkan lantai, dengan mulutnya.



Detik – detik berganti dengan menit dan menit pun silih berganti. Keakraban ibu dan anak terus berlanjut. Rasa penasaran sang anak membuatnya menyentuh dan memainkan memek ibu. Seiring berjalannya waktu, sang anak akhirnya bisa mengetahui saat – saat sang ibu akan orgasme.

Setiap ada kesempatan, jemari lentik sang anak selalu bermain di memek sang ibu, permainannya begitu cekatan sehingga saat sang ibu akan orgasme, jemari lentik itu dicabut, meninggalkan sang ibu perasaan sange yang berlebih.

“Terus sayang, mama udah mau enak nih…”

“Emang enak. Udah, sekarang bikin Erna enak dulu,” kata Erna sambil membimbing kepala mama ke memeknya. Memek Erna lantas dimainkan oleh mulut mama hingga Erna orgasme.

“Nanti mama main aja sama papa!”

“Iya deh.”

Rina hanya bisa pasrah. Malamnya ketika suaminya meminta, Rina memberikan tubuhnya dengan senang hati. Mendapati Rina yang bergairah membuat suaminya menggebu – gebu hingga adegan ranjang pun tak bertahan lama.



Kejadian terus berulang. Rina dibawa ke puncak, namun saat akan orgasme, putrinya menghentikan permainan. Pelampiasan Rina otomatis hanya dengan suaminya.

Kejadian terus berulang. ketika suaminya meminta, Rina memberikan tubuhnya dengan senang hati. Mendapati Rina yang bergairah membuat suaminya menggebu – gebu hingga adegan ranjang pun tak bertahan lama.

Kehidupan ranjang yang bahagia membuat karir suami Rina cemerlang hingga mendapat posisi strategis. Kenaikan pangkat berimbas pada kenaikan penghasilan. Kenaikan penghasilan berimbas pada kenaikan tugas. Suami Rina mulai jarang di rumah.



“Papamu mulai jarang belai mama.”

“Lho, emang kenapa Mah?”

“Biasa, sibuk dengan pekerjaannya.”

“Ntar deh Erna bantu. Pokoknya, apa pun yang terjadi, mama diam saja. Pura – pura bego dan tak tahu apa – apa.”

“Oke deh.”

Setelah percakapan itu, Erna mulai memakai baju babydoll, dengan celana dalam yang berbeda warna sehingga terlihat mencolok.

“Sayang, kok bajunya kayak gitu sih?”

“Gerah sih pah.”

“Kan malu kalau dilihat orang.”

“Iyalah malu. Tapi kan lagi gak ada siapa – siapa. Pokoknya kalau lagi ada tamu, Erna ganti deh.”

“Ya, terserah kamu saja.”

Awalnya biasa, namun lama – lama Rina mulai melihat lirikan suaminya pada putrinya semakin lama.

Rina menyadari ayahnya mulai sering memperhatikannya. Kini Rina bahkan tidak memakai BH.

Perubahan cara berpakaian anaknya kembali memanaskan ranjang Rina. Namun, setelah beberapa minggu, panasnya ranjang mulai berkurang. Bahkan kini terasa kembali dingin.

Seolah dibuat secara tidak sengaja, Erna mulai dekat, secara fisik, dengan ayahnya. Saat menonton tv, Erna sengaja duduk di samping ayahnya. Ayahnya merasa risih, lantas bangkit dengan alasan minum. Setelah minum, duduk di tempat lain. Erna biarkan. Namun, di hari yang lain, ketika ada kesempatan, Erna kembali melancarkan aksinya.

Saat tidur, siang maupun malam, Erna mulai jarang menutup pintu. Erna membeli sebuah kamera mata – mata lantas memasangnya di tempat yang dia kira strategis.



Suatu sore, Erna sedang menonton acara tv sambil menikmati geli – geli yang diakibatkan oleh tangan dan lidah mama. Telinga Erna menjadi tempat bermain bagi lidah dan mulut mama, sedang tangan Erna sibuk mengarahkan tangan mama agar bermain di susu dan atau memeknya. Jilatan dan sentuhan itu baru berhenti setelah Erna orgasme.

“Mama jangan dulu ngentot sama ayah!”

“Emang kenapa?”

“Pokoknya, Erna punya rencana.”



Sudah dua bulan sang ayah tidak orgasme. Sebuah pertengkaran biasa membuat istrinya tak ingin disentuh. Melihat kemolekan tubuh putrinya membuat sang ayah tidak tahan lagi. sumber

Suatu malam, sang ayah melewati kamar putrinya. Pintu yang tidak tertutup membuatnya bisa melihat sang putri tidur memakai kaos, hanya bercelana dalam dan selimut yang tidak menutupi tubuhnya.

Sang ayah masuk, mengelus paha putrinya lantas melorotkan celana dalam. Setelah itu, sang ayah melepas pakaiannya dan mulai menaiki tubuh putrinya. Karena ada yang menindih, sang putri bangun lantas berontak.



“Diam, diam,” hanya itu yang keluar dari mulut sang ayah.

Menyadari siapa yang sedang berada di atasnya membuat Erna sadar. Erna tetap berontak, namun hanya formalitas saja. Saat keperawanannya diambil sang ayah, Erna mengeluarkan air mata. Namun tidak jelas, apakah air mata itu keluar karena rasa sakit ataukah karena bahagia semua berjalan sesuai rencananya.

Puas melampiaskan nafsu, sang ayah lantas keluar dari kamar putrinya dan kembali ke kamarnya.



Rina terkejut dan marah mendengan cerita putrinya. Namun ia juga merasa aneh mendapati Erna yang bereaksi menenangkannya.

“Sudah mah, diam saja. Mama pura – pura tidak tahu. Erna sudah tahu dan bahkan berharap seperti ini.”

“Seperti ini bagaimana?”

“Pokoknya mama jangan bertindak apa – apa tanpa izin Erna.”



Detik – detik berganti jadi menit dan menit pun silih berganti. Sang ayah kembali mengulangi perbuatan bejatnya, dengan sedikit ancaman. Erna menuruti kemauan sang ayah, dengan sedikit meronta.



Karena memiliki niat, maka Erna mengoperasikan perangkat lunak pembuat dan atau perubah video. Hasil rekaman diam – diam saat dirinya dinikmati sang ayah dirubah sedemikian rupa sehingga terlihat jelas adegan rudapaksa.

Film tersebut diperlihatkan kepada sang ayah.

“Nah, apabila ayah mau menuruti semua kata – kata Erna, maka ayah tidak akan masuk bui. Namun, apabila ayah ingin mencoba masuk bui, ya silakan saja.”

“Iya nak, ayah akan menuruti kamu,” kata sang ayah gemetar melihat akibat dari perbuatannya.

“Nah, kalau ayah mau nurut, ayah boleh tiduri Erna. Bilang dulu kalau mau, ntar Erna kasih. Asal jangan kasih tahu siapa – siapa.”

“Iya.”



Erna merasa tentram. Nafsunya terpuaskan. Belajarnya terfokuskan. Dan bahkan karir ayahnya pun lancar.

“Selamat sore Pak, maaf ganggu. Lagi ngopi ya.”

“Eh, iya Pak RT, masuk Pak. Silakan duduk.

“Ada apa ya Pak?”

“Jadi begini, kebetulan saluran got kita akan diperbaiki. Ada bantuan pemerintah, jadi depan rumah Bapak termasuk yang diperbaiki.”

“Alhamdulillah. Tunggu sebentar Pak.”

Ayah lantas masuk rumah, meninggalkan Pak RT duduk sendirian di teras.

“Mah, bikinin kopi dong dua, ada Pak RT.”

“Iya Yah.”

“Ya udah, Ayah ke depan lagi.”



“Ada tamu siapa Mah?”


“Itu ada Pak RT lagi ngoborol sama Ayah.”

“Oh. Eh, tunggu mah, sini dulu sebentar…”



“Eh, gak usah repot – repot Bu, jadi malu nih.”

“Gak apa – apa kok Pak, lha wong cuma kopi.”

Senyum Pak RT berubah jadi kaget saat melihat pentil susu Erna yang tercetak jelas dari balik jilbab lebar yang menutupi dasternya. Apalagi daster longgar itu dijepit di bagian pinggang oleh jepit jemuran sehingga terlihat ketat.

“Ayo Pak, diminum kopinya.”

“Terimakasih Bu.”



Ekspresi terkejut Pak RT membuat Erna cekikian. Erna mulai memikirkan kemungikan ke depan yang tidak terbatas. Kini Erna menyuruh Ayah agar lebih akrab lagi dengan Pak RT.

“Silakan Pak, kopinya.”

“Terimakasih Bu, memang beruntung Bapak ini. Dapet istri yang cantik, perhatian lagi.”

“Ah Pak RT ini ada – ada saja.”

“Namanya juga jodoh Pak. Padahal dulu banyak saingannya.”


“Pantes Bapak menang, Bapak juga gagah dan tampan sih.”

“Pak RT ini bisa saja. Skak mat Pak.”

“Skak mat lagi? Bapak memang pintar bermain catur.”

“Ya, dulu gak ada hiburan lain lagi sih selain catur. Jadi ya sekedar bisa saja.”

“Terus kalau sekarang, hiburan nambah dong?”

“Ah, Pak RT bisa saja. Pak, nanti beli lampu ya, kamar mandi lampunya mati.”

“Iya Bu, nanti malam bapak ke mini market aja.”

“Lho, kebetulan saya kemarin beli lampu tiga, dipasang satu, sisa dua. Neon delapan watt. Kalau Bapak mau, buat Bapak saja satu.”

“Ah, gak enak Pak RT, biar nanti saja.”

“Kok gak enak. Saya yang seharusnya tidak enak, sering ngopi gratis di rumah Bapak. Sudah, saya ambil dulu.”



“Sekarang Ayah pergi dulu keluar sekitar jam sembilanan balik lagi?”


“Ke mana? Ngapain?”

“Bebas, pokoknya Erna punya rencana.”

“Iya deh.”

Ayah lantas pergi.

“Sekarang, mama usahakan agar Pak RT pasang lampu. Terus kalau di dalam rumah, buka jilbab mama.”

“Ntar makin jelajatan tuh Pak RT.”

“Biarin, pokoknya mama bikin tuh Pak RT berani. Misalnya terpeleset di kamar mandi.”



“Lho, Bapak ke mana Bu?”

“Tadi ada telepon mendadak dari kantornya.”

“Oh, ya sudah, ini bu neonnya. Mau sekalian saya pasang Bu?”

“Tidak usah, merepotkan.”

“Tidak merepotkan lho Bu.”

“Kalau tidak merepotkan, ya silakan Pak. Mari.”

“Eh, Pak RT.”

“Iya nak Erna, Bapak mau pasang neon.”

“Silakan Pak.”

“Tinggi juga ya bu. Ada tangga tidak? Atau kursi tinggi?”

“Ada Pak, di ruang makan.”

“Biar saya ambil Bu,”

“Silakan Pak.”



Saat tangan Pak RT menyentuh kursi tinggi, yang akan diambil, mendadak terdengar jeritan mengaduh dari kamar mandi. Tangan Pak RT tak jadi mengambil kursi lantas bergegas ke kamar mandi.

“Ada apa bu?”

“Saya terpeleset Pak.”

“Apanya yang sakit Bu?”

“Kaki saya sepertinya keseleo…

“Aduh…” erang Rina saat mencoba berdiri.

“Biar saya papah Bu.”

“Iya Pak, terimakasih.”

Erna lantas keluar sambil dipapah Pak RT.

“Sudah Pak, ke kursi saja.”

“Iya Bu. Ada balsem tidak, biar saya urut Bu.”

“Ada Pak, di meja itu.”

Lantas Pak RT mengambil balsem.

“Maaf ya Bu, biar saya urut.”

“Iya Pak silakan.”

“Yang mana Bu yang sakitnya?”

“Pergelangan kaki kiri Pak.”

“Oh ini Bu.”

“Wah, Pak RT bisa urut juga ya.”

“Ya, sedikitlah Bu.”

“Kalau begitu boleh dong kapan – kapan minta dipijat.”

“Boleh Bu, tinggal bilang saja.

“Nah, sudah selesai Bu.”

“Iya Pak, terimakasih.”

“Kalau begitu, saya pamit dulu Bu.”



“Gimana akting mama nak?”

“Bagus Mah.”

“Syukur kalau kamu suka.”

“Nah, nanti begini… begini… begini… Mah.”

“Hah? Ada – ada saja idemu itu.”



Sudah beberapa kali Pak RT memijat Ayah. Tiap ketika dipijat, Ayah selalu tidur meski pijatan Pak RT belum selesai. Tidurnya begitu lelap hingga tak jarang terdengar dengkurannya. Kini Pak RT tak lagi canggung saat memijat Ayah.

Hari itu ada yang berbeda. Saat Pak RT memijat, ayah memintanya untuk memijat istrinya juga. Tentu saja Pak RT tidak keberatan. Satu kali pijatan, Pak RT memijat dengan sopan. Tentu sambil diiringi obrolan ringan seputar Indonesia.

Kali berikutnya, sentuhan tangan Pak RT mulai menjamah bagian – bagian yang tidak patut disentuh. Sesuai instruksi Erna, Rina diam tak berontak saat sentuhan Pak RT mulai beda.

Tiap kali memijat, Pak RT semakin berani. Pijatan tersebut tentu tak luput dari mata kamera yang Erna pasang.

“Nak Erna ke mana Bu, kok gak ada?”

“Oh, iya, katanya lagi ada tugas. Jadi tidur di temannya.”

Menyadari suami Rina yang sedang pulas dan Erna yang sedang tidak ada di rumah membuat tangan Pak RT tidak bisa dikendalikan. Usapan tangan di sisi luar payudara Rina mulai berubah menjadi remasan kecil. Remasan – remasan tersebut tak membuat Rina bergerak, hingga jemari Pak RT mulai menyentuh putingnya.

Rina mengangkat sedikit dadanya hingga jemari Pak RT bisa bermain bebas di putingnya. Menyadari perubahan yang terjadi membuat mulut Pak RT terasa berat. Karenanya, Pak RT menurunkan mulut hingga menempel ke leher Rina.

Tak hanya jemari, kini lidah dan bibir Pak RT ikut bermain di tubuh Rina. Tangan Pak RT kini mencoba membalik tubuh Rina.

“Gini saja Pak, lepas saja sarungnya.”

“Iya bu,” Pak RT berkata lantas menurunkan sarung yang menutupi bagian tubuh Rina. “Wah, ternyata ibu gak pake celana dalam ya.”

“Mmmmm,” Rina hanya bergumam sambil menggoyangkan pantat.

Goyangan pantat itu bagaikan magnet yang menarik mulut Pak RT hingga mendekat, hingga bermain di dalamnya… jilatan demi jilatan terus membombardir Rina hingga Rina merasakan ujung batang kontol Pak RT mencoba melakukan penetrasi.

“Uh, enak Bu…”

“Iya, terus Pak.,” celoteh Rina yang kini mengangkat pantatnya hingga Pak RT menyetubuhi dengan gaya anjing. “Jambak rambut saya Pak.”

Tarikan tangan Pak RT di rambut kini membuat pergerakan kontolnya semakin kencang…

Persetubuhan yang mendebarkan ini membuat kedua insan orgasme dengan cepat, begitu cepatnya bagaikan perawan dan perjaka yang baru mengenal hubungan badan.

“Enak Pak?”

“Iya Bu…”

“Kalau begitu, saya pamit dulu.”

“Lho, mau ke mana?”

“Pulang, keburu Bapak bangun.”



“Pak, ini lho, Erna katanya pingin dipijat.”

“Eh, iya Nak Erna.”

Kini Erna pun ikut dipijat. Awalnya hanya pijatan wajar. Kali kedua, Pak RT mulai mencoba, namun Erna tidak bereaksi. Kali ketiga, percobaan Pak RT makin berlebih. Kali ini Erna mulai memberi sinyal, walau secuil.

Hingga tiba saatnya tangan Pak RT mengurut sisi pinggang kiri yang berbatasan dengan payudara, Erna agak mengangkat bagian kirinya sehingga tangan Pak RT mulai menjamah daerah yang belum dia jamah. Jari Pak RT mulai menyentuh puting Erna. Desahan Erna membuat jari itu seperti bolak-balik menyentuh puting hingga akhirnya jempol Pak RT ikut membantu.

“Jangan pake tangan Pak!”

“Eh, iya Nak, maaf.”

Erna membalikan tubuh hingga terlentang menantang.

“Pake mulut saja.”

Tanpa menjawab, Pak RT lantas menyusu.

“Buka celananya Pak!”

Mendapat perintah seperti itu membuat Pak RT tak kuasa menolak. Kontolnya kini terbebas dari siksa celana dalam.

“Cepet masukin Pak!”

“Iya Nak!”

Dengan gaya biasa, Pak RT menyetubuhi Erna. Sensasi menikmati daun muda membuat Pak RT lupa diri hingga ejakulasi dini.

“Hihihi… Lain kali lagi ya Pak.”

“Iya Nak.”

“Sekarang, tamatin pijatnya ya. Bener – bener pegel nih.”

“Eh iya.”

“Pakai lagi dulu celananya.”

Pak RT kini menyelesaikan pijatannya.



Kali pijatan kedua, Pak RT dibuat pasrah saat terlentang. Kontolnya dimainkan oleh memek Erna yang berputar liar sambil mencubit – cubit puting Pak RT.



Kali ke lima, di Rina dan suaminya sedang keluar.

“Jangan Pak, bosan,” celoteh Erna saat Pak RT mulai menyentuhnya.

“Bosan bagaimana?”

“Bosan yang biasa.”

“Terus maunya apa?”

“Kita main sandiwara yuk?”

“Sandiwara? Boleh.”

“Pura – puranya, Bapak perkosa Erna!”

“Boleh.”

Kini, Pak RT mencoba memperkosa Erna.

“Stop dulu Pak!”

“Kenapa?”

“Kurang liar Bapak mainnya.”

Kini, Pak RT mencoba memperkosa Erna, dengan agak liar.

“Stop dulu Pak!”

“Kenapa lagi?”

“Kurang seru, Bapak ngomong kasar dong.”

“Siap Nak!”

Kini, Pak RT mencoba memperkosa Erna, dengan agak liar, sambil berkata – kata kasar. Erna mencoba meronta dan meronta namun apa daya, tenaga Pak RT membuat Erna tak berdaya. sumber

Pak RT menyetubuhi Erna sambil tangannya memegang kedua tangan Erna di atas kepala.

“Tampar pipi Erna Pak!”

“Hah, oh iya.”

Pak RT menampar Erna.

“Itu sih bukan tamparan Pak”

Pak RT kembali menampar Erna.

“Kurang keras Pak!”

Pak RT menampar Erna lagi. Namun kali ini, setelah tangannya menampar kontolnya menyemburkan peju.

“Jangan dicabut dulu Pak!”

“Terus?”

“Pan ceritanya pemerkosaan. Jadi bapak ancam ini itu.”

“Oh.”

Pak RT lantas mengancam Erna agar tak melaporkan perkosaan ini. Jika lapor maka nyawanya akan melayang.

Baru kali ini Dudung disuruh menyerahkan berkas kepada keluarga Rina. Biasa melihat Rina dengan gaya resmi yang serba tertutup membuat Dudung terkejut saat melihat Rina yang mengambil berkas dengan hanya berbalut daster. Dudung disuruh duduk dulu di dalam karena berkas tersebut akan diperiksa dulu. Sebelum Rina membacanya, berkas itu ditaruh di meja.

Rina tertawa dalam hati menyadari mata Dudung yang mengintip belahan payudara dari belahan dada dasternya saat menyuguhkan segelas air sirup. “Silakan diminum dulu nak!” celoteh Rina lantas duduk. Rina memeriksa berkas, formalitas saja. “Bilang sama Pak RT ya, terimakasih.”

“Iya Bu, kalau begitu saya pulang dulu.”

“Iya, hati – hati ya. Terimakasih.”

“Sama – sama Bu.”



Setelah kepergiannya, Rina teringat percakapannya dengan Pak RT. Rina mencurahkan hati bahwa dia merasa tua. Pak RT menghibur dengan mengatakan Rina masih cantik.

Obrolan berlanjut kepada mitos yang mengatakan bahwa bercinta dan atau meminum peju daun muda bisa membuat awet muda. Celoteh tersebut direspon dengan ide Rina yang menjadi penasaran ingin mencoba daun muda.

Pak RT bingung. Namun saat ada kesulitan, biasanya muncul juga kemudahan. Rina meminta izin untuk menyetubuhi Dudung, anak Pak RT yang masih menengah atas, namun sudah cukup umur hingga sudah memiliki SIM dan KTP. Pak RT terkejut.

Namun Rina mencoba meyakinkan bahwa menyetubuhinya akan lebih aman daripada suatu ketika Pak RT mendapati seorang gadis datang kepadanya meminta pertanggungjawaban karena telah mengandung anak dari putranya.




Dudung bingung saat ia jadi sering disuruh antar jemput berkas oleh bapaknya ke rumah Bu Rina. Namun, perbedaan gaya busana dan obrolan ringan yang selalu disuguhkan Bu Rina membuat Dudung menjadi betah berlama – lama. Kini, bahkan Dudung tak lagi canggung saat Bu Rina mencubit dan atau mengelus tubuh saat obrolannya diselingi oleh candaan.

Candaan demi candaan membuat Dudung menjadi berani mengutarakan isi hati. Karena merasa kasihan, Rina lantas mengelus rambut Dudung. Elusan Rina disertai dorongan hingga kepala Dudung kini menempel di dadanya. Meski masih memakai daster, namun Dudung girang bukan kepalang.

Kegirangan Dudung mesti berhenti saat elusan tersebut berhenti. Karena sudah mau magrib, Dudung pun pamit. Rina berterimakasih karena Dudung sudah mau mencurahkan isi hati padanya yang menandakan bahwa Dudung mempercayai Rina.



Kali lain saat Dudung kembali mengantar berkas, terjadi lagi obrolan hangat yang mengarah pada elusan rambut Dudung. Tangan kiri Rina sibuk mengelus rambut, sedang tangan kanannya meraih tangan kiri Dudung dan membimbingnya hingga tangan kiri Dudung menyentuh susu Rina.

Dudung diam, bimbang, antara takut, ragu dan nafsu. Jari Dudung dielus – elus ke bagian putingnya. Dudung jadi tahu kalau Rina tak memakai BH. Elusan jari yang dibimbing oleh Rina membuat keberanian Dudung bangkit. Kini, tangan Dudung mulai meremas – remas.

Tanpa perlu dibimbing lagi, tangan kiri Dudung meremas susu Rina. Sedang tangan kanan rina melepas resleting dan kancing celana Dudung. Setelah beberapa saat, kontol Dudung pun tegak menantang. Rina lantas meludahi tangan kanannya. Tangan kanan tersebut Rina pakai untuk mengocok kontol Dudung. Rangsangan tersebut akhirnya membuat Dudung memuncratkan peju.

“Ayo, lap dulu kontolnya. Tuh tisunya di meja?”

“Iya Bu.”

“Sudah, kamu pulang ya. Nanti ada orang.”

“Iya.”



Kunjungan berikutnya mulai ada peningkatan. Meski Dudung masih pasif, diam saja menunggu inisatif Rina, namun tak menghalangi niat Rina. Meski beralas ubin sehingga punggung pantat Dudung terasa dingin, namun Dudung tidak keberatan.

Tidak perlu telanjang, Rina hanya sedikit melorotkan celana Dudung hingga Dudung telentang dengan kontol menantang. Rina mengangkat daster dan merendahkan tubuh hingga kontol Dudung masuk ke memeknya. Rina lantas meraih tangan Dudung dan meletakan di dadanya. Dudung lantas meremas susunya sedang Rina lantas menggoyang pantatnya.


Goyangan Rina begitu nikmat hingga membuat Dudung memuncratkan peju di memeknya.



Kunjungan berikutnya mulai ada peningkatan. Dudung mulai proaktif sehingga Rina tak harus berinisiatif. Meski hanya bergaya anjing, namun Dudung merasa puas.



Kunjungan berikutnya mulai ada peningkatan. Dudung mulai proaktif sehingga Rina tak harus berinisiatif.

“Duduk dulu ya, biar Ibu kupasin mangga,” kata Rina sambil mengupas mangga. Setelah mangga dikupas, lantas dihidangkan di meja. Pisau tetap ditaruh di meja, meski sudah dilap oleh tissue.

“Biar gak jenuh, kita main pura – pura yuk.”

“Pura – pura bagaimana Bu?”

“Pura – puranya Ibu kamu perkosa. Coba kamu ambil pisau, terus ceritanya tempelkan ke leher ibu, sambil mengancam.”

“Serius Bu?”

“Iya, kalau kata bahasa inggris, fantasy.”

“Baiklah.”


“Ayo, kamu mulai.”

Adegan dimulai. Rina harus beberapakali menyuruh Dudung mengulangi. Dari mulai mengancam dengan menempelkan pisau di leher, dimana tangan satunya menggerayangi. sumber

Puas menggerayangi, tangan Dudung melepas celananya. Setelah itu, daster Rina disingkapnya hingga Rina telentang di lantai. Dudung ngentot Rina sambil satu tangan tetap fokus pada pisau yang menempel di leher Rina.

Setelah menyemprotkan peju di memek Rina, Dudung disuruh mengancam, menampar dan mengulangi karena menurut Rina kurang menjiwai.

Bu RT lantas bersimpuh di hadapan Rina, memohon agar jangan melibatkan pihak yang berwajib. Rina lantas menawarkan alternatif, jika memang tak ingin keluarga Bu RT berhubungan dengan pihak berwajib.

“Apa alternatifnya Bu?”

“Sebagai anak yang beranjak gede, tentu putra ibu akan menjadi ketagihan perempuan. Lantas, jika Ibu memang tak ingin melibatkan pihak berwajib, maka Ibu mesti menggantikan posisi saya!”

“Menggantikan bagaimana?”

“Ibu harus berhubungan dengan putra Ibu, selamanya. Kalau tidak, saya takut saya akan kembali dihubungi dan atau diperkosa, Bu.”

“Astagfirullah, tapi…”

“Tapi, hanya itu pilihan Ibu.”

“Tapi, saya tak tahu harus bagaimana, Bu.”

“Kalau Ibu tak tahu, sore ini ibu ke sini.

“Putra ibu sudah mengancam saya, agar sore ini kembali melayaninya.”

“Benarkah anak saya sebejat itu?”

“Ibu sudah lihat buktinya.”

Meski sudah ngaceng berat, namun Dudung menurut saat tangannya diikat ke sisi ranjang. Sepadan, pikir Dudung, demi memek. Apalagi matanya ditutupi.

Kini terasa sentuhan di perutnya.



Mata Bu RT tak kuat menahan air mata. Putranya yang sangat dibanggakan, kini terikat seolah tak berdaya. Tangannya, meski dengan bimbingan tangan Rina, kini menyentuh perut putranya. Jemarinya mulai mengelus putting putranya, membuat putranya mendesah. Disaat tangannya memainkan puting kiri, kepalanya didorong hingga mulutnya menyentuh puting putranya.

“Jilat Bu,” bisikan Rina terdengar pelan. Bu RT menurut, jilatannya ternyata berefek kepada pergerakan tubuh putranya. Kepalanya lantas dibimbing, menurun hingga ke selangkangannya. Bu RT menutup mulut, hingga bibirnya hanya menyentuh saja. Kepalanya menggeleng.

“Ayo, Bu,” seolah mendapat izin, Bu RT kini menjilati dan menciumi kontol putranya. Tak lama kemudian, kontol itu mulai dihisap dan disepong. Pantat anaknya kini mulai tak diam, mencoba naik turun berirama.



Dudung mencium mulut yang menciumnya. Aneh, kontolnya masih disepong, namun kini bibirnya dicium. Seolah mengerti dengan kebingunannya, penutup mata Dudung dibuka.

“Mah, ngapain Mah?

“Lepasin Dudung Bu!”

Dudung mencoba berontak, namun kontolnya sangat menikmati mulut ibunya.


“Sudah, tenang Nak, mama paham. Kalau kamu mau, minta saja sama mama. Mama mau kok memberikannya sama kamu.”

“Minta apaan mah?”

“Minta ini dong.”

Bu RT lantas bangkit dan berdiri di atas Dudung. Pantatnya diturunkan hingga memeknya mulai dimasuki oleh kontol putranya.

“Sudah Mah, hentikan.”

“Yakin, tapi kok punyamu malah tegang sih?”

Tak perlu waktu lama, Dudung pun memuncratkan peju di memek ibunya. Bu RT lantas bangkit, mulutnya mendekat kontol putranya. Jijik bahkan sebelumnya tak pernah mengulum kontol suaminya, tapi, karena ini permintaan Rina, agar anaknya selamat, maka Bu RT menjilati dan menghisap sisa peju yang ada di kontol anaknya.

Setelah bersih, Bu RT lantas berlari ke kamar mandi, mual dan muntah karena tidak terbiasa. Setelah kembali, Bu RT lantas melepas ikatan tangan putranya dengan gunting.

“Mama paham, kamu mulai dewasa. Kini setelah Papa tak ada, Mama juga kesepian. Maka, daripada kamu nakal, Mama minta kamu hanya berhubungan sama mama saja. Mau ya, sayang.”

“Iya Ma, Dudung mau.”

“Tuh, dengerin permintaan ibumu Dung.”

“Iya Bu Rina.”

“Kalau begitu, kami pamit dulu Bu.”

“Iya, Bu RT, hati – hati di jalan ya.”


Perih akibat lecet yang terasa di lutut lama – lama hilang. Memang, bekas lukanya tidak hilang, namun kini Rina dan suaminya tak lagi merasa perih. Mungkin karena kulit lututnya menyesuai diri dengan keadaan di mana mereka kini sudah mulai sering merangkak.

Setiap subuh, jika dan hanya jika tidak sedang datang bulan, Erna selalu terbangun karena jilatan ibunya. Jika terlentang, maka jilatan itu menjilati selangkangannya. Namun, jika kebetulan sedang tengkurap, maka jilatan itu menjilati anusnya.

Susu Rina kini makin berat, dengan asi yang selalu ada dan diperas tiap hari. Rina dan suaminya kini dilarang untuk bersetubuh di kamar mereka. Maka saat setelah sarapan biasanya sering dipakai oleh suaminya untuk mengawininya, dengan gaya anjing, tentunya.

Gaya hidup yang unik ini, malah semakin mendekatkan keakraban di keluarga kecil Rina. Keharmonisan rumah tangga membuat Rina selalu menjadi narasumber bagi tetangga dan atau saudarinya, yang bertanya tentang rahasia keluarga harmonis.

Rina tentu menjawab dengan santai, bahwa seks adalah rahasianya. Ada yang puas dengan jawaban tersebut. Tapi ada juga yang masih kurang puas. Rasa – rasanya telah melayani dengan baik, kata mereka yang kurang puas, namun tetap saja pasangannya masih melirik wanita lain. Rina lantas menyarankan untuk mencoba sesuatu yang baru.



Di rumah, kini dekat pintu utama tersedia meja. Di atas meja itu selalu terdapat daster dan kerudung instan yang mudah dipakai. Ya, ide tersebut tercetus saat Erna merenung, sambil selangkangannya dijilat oleh ibunya. Kini, Rina selalu telanjang di rumah. Adapun daster dan kerudung instant tersebut digunakan jika ada yang mengetuk pintu.



“Wah, sandal baru nih.”

“Iya, nih, biar gak dingin. Mah, Yah, biar makin seru, Mama dan Ayah kalau mau ngomong, saat makan saja. Kalau sedang tidak makan, menggonggong saja.”

Kenyang setelah makan, Erna lantas beranjak dari kursi makan ke sofa di ruang TV. Namun, sengaja sandalnya tidak dipakai, sehingga ada di bawah meja makan.

“Mah, bawain sandal Erna dong ke sini! Gigitin maksudnya!”


“Guk.”

Rina mencoba menggigit sepasang sandal.

“Satu – satu saja kalau susah mah.”

Rina lantas menggigit sandal kiri dan membawanya ke hadapan putrinya. Sementara suaminya melihatnya. Setelah itu Rina kembali lagi untuk membawa sandal kanan. sumber

“Rapikan ya, biar siap pakai! Tapi jangan lupa, jangan pakai tangan.”

Rina lantas memposisikan sandal dengan cara menggeser dengan mulutnya. Adegan ini rupanya membuat suaminya bereaksi, hingga merangkak mendekatinya dan lantas tangan suaminya memenggang punggungnya.

Ayah Rina menghentikan aksinya saat ada sandal melayang mengenai kepalanya.

“Yang sopan dong Yah, jilati dulu hingga basah. Jangan main colok saja. Sini ambilin sandal Rina.”

Ayah Rina lantas menggigit sandal dan memposisikannya kembali di hadapannya.

“Nah, gitu dong,” kata Rina sambil mengelus kepala Ayahnya. Elusan tangan Rina kini pindah ke kontol Ayahnya. “Pingin kawin ya?”

“Guk!”

“Pintar, ayo, kawini saja betinanya!”

“Guk!”

Suami Rina lantas merangkak ke belakangnya, hidungnya mengendus anus Rina. Puas mengendus, kini memek Rina lantas dijilati. Tak perlu waktu lama hingga basah, suaminya kini mengawininya, dengan gaya anjing.

Erna lantas ke kamar mengambil ikat pinggang. Melihat keseruan anjing yang sedang kawin, membuat Rina asik menonton. Ikat pinggang itu lantas Erna pasang ke leher Ayah hingga pas. Rina lantas menarik – narik, dengan tidak keras, ikat tali sabuk itu.

“Parah nih anjing, tiap hari kawin mulu,” celoteh Erna. Crot… celotehan Erna membuat kedua anjing yang sedang kawin melolong orgasme.

Cerita Sex Tokoh Spiritual

“Sini – sini, biar gak kawin mulu,” Erna lantas menarik sabuk, membuat Ayahnya merangkak mengikuti tarikan. Lantas ujung sabuk itu diikat ke kaki meja makan. Sebuah ikatan sederhana, yang mudah dilepas, dimana ikatan ini lebih ke simbol.

Setelah itu, mangkuk air minum anjingnya Rina geser dengan kaki, hingga ke dekat anjing jantannya. Melihat peju yang seperti akan menetes di memek mamanya, Rina lantas mendekati mamanya dan menarik rambutnya.

“Sini – sini.”

Tarikan tersebut berhenti di dekat ayahnya.

“Nih, jilatin memek betinanya biar bersih, jangan ada bekas peju ya.”

TAMAT

CERITA TERBARU