Thumbnail

StreamWTF

Cerita Dewasa - Masa Ujian Semester Part 2

Esoknya, aku kembali mencoba mengirim sms pada Tania. Bukan untuk minta ‘servis’ sih, cuma ingin tahu kabarnya saja, karena sudah beberapa hari dia tidak masuk kuliah. Tapi ternyata dia tidak membalas. Kekhawatiranku semakin memuncak sehingga akhirnya aku putuskan untuk menelponnya.

“Halo, Tan,” ucapku.

“Halo, Di. Sori… tadi gue ga liat ada SMS,” jawabnya.

Ada setetes kesejukan di dalam dadaku ketika mendengar suara Tania. Seperti air oase yang membasuh kerinduan.

“Kemana aja? Anak-anak pada nyariin tuh. Si Santi juga,” ucapku.

“Iya, aduh sori. Gue lagi ada proyekan yang mesti gue kerjain sekarang-sekarang ini. Tapi nanti kalau udah selesai, gue pasti——”

Ucapannya terputus. Ada sebuah suara yang menyelanya. Suara laki-laki. Aku tidak terlalu jelas mendengarnya, tapi aku yakin ada suara lelaki yang berusaha menggoda Tania. Lalu mereka tertawa, sementara aku masih mendengarkan telepon.

“Di, nanti gue telepon balik ya!”

Tut… tut…. telepon diputus.

Perasaanku sesak. Setetes kesegaran yang kurasakan tadi kini kembali gersang, lebih gersang dari biasanya.

Tapi untunglah tak lama kemudian Rian dan Galih meneleponku. Mereka mengajakku untuk datang ke festival kampus Z yang mengadakan bazaar dan penampilan band-band indie. Aku menerima tawaran mereka. Mungkin saja bisa sedikit mengobati perasaan ini.

Kami pergi menggunakan mobilnya Galih, seperti biasa. Tapi selain aku dan Rian, ada seorang penumpang lain. Ia adalah Saras, gebetan Galih yang sedang didekatinya.

Orangnya ramah dan kulitnya hitam manis, dan aku ada kecurigaan jangan-jangan Galih sengaja mengajak kami karena ingin memamerkan gebetan barunya. Dasar anak orang kaya, sepertinya mudah sekali mendekati perempuan.

Tiba di Kampus Z, suasana sudah sangat ramai. Banyak stand makanan dan aksesoris yang dipadati pengunjung. Di tengah lapangan, sebuah panggung lumayan besar sedang menampilkan acara band.


“Gue sama Saras ke sana dulu ya!” ucap Galih sambil menunjuk sebuah stand ramalan kartu tarot.

Aku hanya mengangguk. Sudah jelas tujuan mereka ke sini karena ingin pacaran. Sementara aku? Kalau seandainya ada Tania… Mungkin aku bisa mengajaknya ke stand ramalan garis tangan… atau makan es krim… Rasanya belum pernah aku melakukan hal itu dengannya… Ah….

Aku berusaha menghilangkan pikiran tentang Tania saat perasaan sesak mulai kembali muncul di dada. Kenyataannya, yang ada di sampingku sekarang adalah… Rian.

“Lo ngerasa jadi maho nggak jalan berdua sama gue?” ujar Rian sambil terkekeh-kekeh.

“Sialan lo. Ah, liat band aja yok,” ucapku.

Kami berdua maju ke depan panggung agar dapat lebih jelas melihat penampilan band. Band yang saat itu sedang tampil tidak begitu menarik perhatianku, sebab suara vokalisnya terlalu cempreng. Namun ketika band selanjutnya naik panggung, aku mengerutkan kening.

Ada tiga orang yang naik ke panggung. Dua orang pria berambut gondrong, dan satu orang perempuan cantik. Aku tidak kenal kedua pria itu, tapi aku kenal si perempuan.

Perempuan berkacamata, mengenakan kemeja dan kaos hitam agak ketat, dan celana jeans sobek-sobek. Aku kenal dia, dia adalah Ghea, adik tingkatku yang sering berpapasan denganku di kampus.

Kacamata berbingkai merah selalu menjadi ciri khasnya. Selain itu wajahnya sangat cantik, kulitnya putih mulus, postur tubuhnya bisa dibilang mungil, namun kalau boleh tebak, ukuran dadanya lebih besar dari Tania.

Band itu membawakan lagu ‘Lithium’ milik Nirvana dengan percaya diri. Suara Ghea yang agak serak terasa pas dan nyaring, bahkan memberikan nuansa tersendiri pada lagu itu.

Entah kenapa aku selalu tertarik pada perempuan tomboy dan agresif. Tapi Ghea mungkin di atas levelku, dia adalah tipe cewek cerdas pemberontak yang jadi incaran banyak cowok.

Ketika sedang bernyanyi, sesekali ia melirik ke arahku lalu tersenyum. Aku tidak berani membalas. Soalnya aku tidak yakin, benarkah ia tersenyum padaku? Berkali-kali aku menoleh ke belakang, tak ada orang yang tampak membalas senyumnya.


Sepertinya benar. Di kampus kami jarang mengobrol, tapi aku memang selalu merasakan tatapan berbeda dari dirinya setiap kali kami berpapasan.

“I’m so horny. But that’s ok. My will is good….” suara merdu Ghea terngiang di telingaku beserta lirik itu, juga senyumnya yang menggoda.

Suara merdu Ghea merasuk hingga ke dalam telingaku. Suaranya yang agak serak terdengar seksi, membuat tubuhku terasa merinding mendengarnya. Aku mulai membayangkan, bagaimana jadinya suara Ghea kalau ia sedang mendesah-desah?

Tiba-tiba khayalanku dikagetkan oleh getaran hp di kantong celana. Aku merogoh kantong dan melihat layar hp. Tadinya aku hampir saja menekan tombol untuk menerima telepon itu, tapi ketika melihat nama peneleponnya, jempolku tertahan. Orang yang meneleponku itu adalah Tania.

Aku ingat, tadi dia memang berjanji akan menelepon balik, sebab komunikasi kami terputus gara-gara ada seorang lelaki yang dengan seenaknya menggoda Tania ketika kami sedang berbicara.

Oh, jadi dia baru sempat meneleponku sekarang karena dia baru selesai bercumbu dengan lelaki itu? Satu jam lebih. Sudah berapa ronde, Tan?

Tania menolak memberikan keperawanannya padaku karena dia ingin menjagannya untuk seorang lelaki yang spesial. Mungkikah lelaki di telepon tadi adalah lelaki spesial itu? Kalau iya, berarti mereka memang sudah melakukannya.

Aku bisa membayangkan. Ketika tadi aku meneleponnya, mungkin Tania sedang ditiduri oleh lelaki itu. Mungkin posisi missionary, mungkin juga doggy style, tapi sepertinya sih doggy style.

Tania mengangkat teleponku sambil menungging, lalu lelaki itu dengan enaknya menggenjot vagina Tania dari belakang. Ketika berbicara denganku, ia terdengar tidak fokus, sepertinya karena ia sedang berusaha menahan suara desahannya.

Desahan karena rasa nikmat yang mulai merasuki seluruh tubuhnya. Dan ketika ia hampir mencapai klimaks, ia pun tidak tahan lagi dan langsung menutup telepon.

Aku patah hati, sementara di ujung sana ia menjerit menikmati orgasme. Jantungku seperti terbakar membayangkan semua itu, tapi anehnya kemaluanku malah mengeras.

Membayangkan Tania sedang ditiduri oleh lelaki lain, membayangkan wajah manisnya yang sedang melenguh, dan payudara mungilnya yang diremas-remas oleh lelaki misterius itu, serta tentu saja lubang vagina Tania yang sama sekali belum pernah kutembus…ada yang meledak dalam diriku. Kepalaku jadi pusing, getaran hp-ku masih berlangsung. AKhirnya jempolku menekan tombol reject.

***

Esoknya di kampus, aku tak sengaja berpapasan dengan Ghea. Ia memakai kacamata merah maroon favoritnya serta kemeja coklat yang dua kancing atasnya dibiarkan terbuka, samar-samar memperlihatkan belahan dadanya yang mengundang rasa penasaran.

Biasanya aku jarang menyapanya kalau dia tak menyapa duluan, tapi entah apa yang terjadi, aku teringat dengan suara seksinya kemarin, dan aku langsung menepuk pundaknya.

“Ghe!” panggilku.

“Hey, Kak!” Ia menoleh dan tersenyum padaku. Jantungku berdetak kencang.

“Penampilan kamu kemarin bagus!” ujarku. Aku memang biasa memakai gaya bahasa yang lebih sopan pada orang yang belum terlalu akrab.

“Hehe, iya Kak! Kemarin saya lihat Kak Adi di depan panggung!” jawab Ghea sambil cengar-cengir. Aku dapat melihat gigi-giginya yang berderet rapi.

Ketika di atas panggung dan ketika bersama teman-temannya, ia terlihat sangat tomboy dan blak-blakan, tapi saat berbicara denganku ia malah seperti anak manis yang sopan.

Kami terdiam selama beberapa saat, sepertinya aku bingung mau bicara apa lagi, bibirku beku, aku hanya menggaruk-garuk kepala. Namun tiba-tiba Ghea meraih pergelangan tanganku. Ada apa ini?

“Kak Adi belum makan kan? Yuk, saya traktir!”

Aku kebingungan dengan sikapnya. Apa dia memang seramah ini?

“Dalam rangka apa nih?” tanyaku sambil setengah diseret oleh Ghea.

“Tadi sebenernya saya udah janji sama temen-temen band yang lain, mau latihan. Tapi ternyata mereka ada urusan, jadi sekarang saya bingung mau ngapain. Kebetulan ada yang pingin saya tanya sama Kak Adi.”

Hal yang ingin dia tanyakan itu ternyata masalah pelajaran. Ketika sampai di kantin, ia menggiringku ke meja pojok yang sedang sepi, lalu ia mengeluarkan setumpuk buku kuliah.

Dia memang satu tingkat di bawahku, dan mata kuliahnya banyak yang sama dengan mata kuliah yang pernah kuambil, jadi dia banyak meminta nasehat. Mulai dari masalah tugas-tugas, sifat para dosen, dan lain sebagainya.

Aku kewalahan, sebab aku sebenarnya bukan mahasiswa yang terlalu pintar, sementara dia adalah mahasiswi yang sangat cerdas.

“Nah, sebagai ucapan terima kasih, sekarang Ghea traktir!” Ucapnya sambil menyingkirkan buku-buku dari meja.

Hubunganku dengan Ghea semenjak saat itu menjadi semakin akrab. Setiap kali ada waktu kosong dan kebetulan berpapasan, ia sering bertanya masalah kuliah. Kadang aku juga bertemu dengan teman-teman bandnya, dan ternyata mereka orang yang cukup ramah.

Aku jadi merasa beruntung, sebab di saat aku merasa dikhianati Tania, aku malah semakin akrab dengan Ghea. Tapi Tania tak benar-benar hilang dari pikiranku, terkadang saat sebelum tidur aku masih sering membayangkan Tania.

Tapi aku berusaha menggantinya dengan bayangan Ghea. Ghea tak kalah cantik, tak kalah ramah, senyumnya lebih manis, buah dadanya juga (sepertinya) lebih besar. Dan terlebih lagi, suaranya itu….

Tapi tadi sore ada satu hal yang membuat pikiranku kembali pada Tania. Awalnya aku tak sengaja bertemu Santi yang terlihat murung di depan kelas. Wajahnya kusut, tidak seperti Santi yang selama ini kukenal.

“Kenapa San?” tanyaku.

“Huhh.. nggak. Ga papa.” jawabnya ketus.

“Masalah Tania?”

Santi mengangguk. Sejak Tania menghilang dari geng power rangers, Santi jadi terlihat suram. Mungkin ia merasa dikhianati, sebab Tania adalah sahabat terdekatnya selama ini.

“Bete gue. Itu anak kenapa sih? Pacaran sampe segitunya, sampe lupa temen!” ucap Santi.

Aku mengangguk setuju. Tapi di dalam hatiku, aku merasakan hal yang lebih dari sekedar kehilangan teman. Aku patah hati.

“Kapan terakhir ketemu?” tanyaku.


“Tiga hari yang lalu, gue dateng ke kosnya. Itu pun cuma sebentar, karena dia mau pergi. Bilangnya sih ada kerja sambilan, ah paling juga pacaran ama cowok barunya itu!”

Aku menghela nafas. Segala macam bayangan muncul lagi di benakku. “Gue juga bingung harus gimana. Lo kan yang paling deket sama dia, San.”

“Iya gue tau. Urusan pribadi dia gue ga berhak ikut campur, tapi sebagai sahabat gue juga ga bisa cuek. Lo tau ga, apa yang gue temuin di kamar Tania?” Santi cemberut masam.

“Apa?” aku teringat dengan kamar itu. Kamar pertama kalinya aku menjadi intim dengan Tania. Saat itu Tania memintaku meremas-remas payudaranya, dan ia bahkan memberiku handjob sampai spermaku muncrat ke bonekanya.

“Tapi lo jangan bilang siapa-siapa ya!” Santi mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sebuah benda kecil dibungkus plastik, di bungkusnya tertulis sebuah merek alat kontrasepsi terkenal.

“Kondom?!!” tenggorokanku terasa kering mendadak.

“Sssst!” Santi memasukkan lagi kondom itu dalam celananya.

Segalanya tentang Tania menjadi semakin buruk saja. Kekhawatiranku ternyata benar. Kalau Tania sampai menyimpan kondom di kamarnya, berarti ia sudah sering berhubungan intim dengan pacarnya, di kamarnya, di tempat kenanganku bersamanya. Aku berusaha menyembunyikan wajah suramku dari Santi.

Pada saat seperti ini, tiba-tiba saja hpku berbunyi. Aku mengangkatnya dan menebak-nebak siapakah gerangan yang mengirimiku SMS?

‘Kak, sore ini ada waktu luang nggak? Ada tugas susah yg mau saya tanyain (Sender: Ghea)’

Seorang mahasiswi kembang kampus yang cerdas dan pintar bernyanyi, yang diincar oleh banyak lelaki di kampus ini, yang cantik dan seksi, mengajakku bertemu secara pribadi? Aku tidak tahu kenapa dengan nasib semujur ini senyumku masih tidak mau melebar juga. Aku tetap saja memikirkan Tania… entah marah, atau rindu.

Dengan berat hati, aku meninggalkan Santi yang masih termenung di depan kelas. Sedih juga, gini jadinya kalau ranger kuning kehilangan ranger pink. Aku pun merasa kesal dengan Tania, ia tidak hanya meninggalkan aku, tapi juga teman-temannya yang lain. Lelaki spesial seperti apa sih yang sudah merebut hatinya?

Aku membalas SMS Ghea dan mengiyakan ajakannya untuk bertemu. Dia bilang dia menungguku di kios bakso Pak Kumis yang ada di seberang kampus, jadi mau tidak mau aku harus keluar dari kampus ini, kebetulan semua jadwal kuliah sudah selesai.

Ketika melewati tempat parkir, aku melihat sebuah mobil sedan mewah baru saja masuk dan sedang mencari tempat parkir. Mobil siapa itu? Mungkinkah mobil dosen atau rektor? Atau mobil mahasiswa anak orang kaya? Tapi aku belum pernah melihatnya sebelumnya.


Ketika mobil itu selesai parkir, sesosok pria keluar dari kursi pengemudi. Pria itu memakai kemeja necis dan mengenakan kacamata, rambutnya pendek dan disisir ke samping.

Dari pintu mobil yang satunya lagi, sesosok wanita keluar. Ia mengenakan kaos oblong, celana jeans, dan sepatu kets. Penampilan mereka berdua sangat kontras, tapi aku kenal siapa wanita itu. Dia adalah Tania.

Wajah Tania terlihat kaget ketika melihatku, mulutnya menganga dan matanya menatap mataku tanpa berkedip. Terus terang, aku juga tidak tahu harus mengatakan apa. Ada perasaan rindu yang amat sangat di dalam dada ini, tapi ada juga perasaan marah dan patah hati yang tidak bisa ditutupi.

Kalau saja tak ada pria itu di sebelahnya, aku mungkin akan mencoba bicara. Tapi aku tidak mau. Membayangkan mereka berdiri bersampingan saja sudah membuatku bisa membayangkan seks macam apa yang sering mereka lakukan di dalam mobil mewah itu. Lebih dari soal seks, lelaki itu adalah lelaki spesialnya Tania, lebih spesial dari aku.

“Adi!” Tania akhirnya memanggilku ketika aku berjalan menjauh. Aku tidak menggubrisnya, aku tetap berjalan ke arah bakso Pak Kumis untuk menemui Ghea.

Beberapa langkah aku berjalan, aku merasa ada yang mengikutiku dari belakang, lalu menepuk pundakku. Ini bukan tangan Tania. Tangan siapa ini? Tangan lelaki brengsek itu!

“Hey bung! Tunggu sebentar!”

Bang, bung, bang, bung, dia pikir dia siapa? Aku memang orang yang terkenal tidak suka cari masalah, tapi kesabaranku sudah pada batasnya.

Aku menoleh dan menatapnya. Dia beberapa tahun lebih tua dariku, mungkin itulah kenapa ia terlihat sudah mapan. Tapi di wajahnya tak ada rasa bersalah, wajahnya terlalu datar. Lalu ia membetulkan posisi kacamatanya, membuat aku semakin muak.

“Kamu pasti temannya Tania yang namanya….”

BUAK!

Tinjuku melayang menghantam kepala lelaki itu sebelum ucapannya selesai. Kacamatanya lepas, ia terhuyung dan jatuh tersungkur. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku aku memukul orang karena marah, tak kusangka pukulanku kuat juga. Satpam dan tukang parkir memperhatikan kami dan bersiap untuk melerai.


“Kalo lo orang kaya, lain kali kondom beli sendiri!” ucapku membentaknya. Tania hanya mematung melihat perbuatanku, wajahnya pucat.

Aku bingung dengan diriku sendiri. Apa yang sudah aku lakukan? Memangnya aku siapanya Tania? Memangnya apa hakku marah pada pacarnya Tania? Memangnya dia salah apa? Memangnya Tania salah apa kalau dia berhubungan dgn pria lain? Aaaargh! Aku lalu lari sekencang-kencangnya, melewati gerbang kampus, menuju bakso Pak Kumis.

Di dalam kedai bakso, Ghea sedang asyik minum jus alpukat sambil memainkan iphone-nya. Aku tiba di sebelahnya sambil terengah-engah.

“Eh kak adi! Kenapa ngos-ngosan gitu? Santai aja kali, saya nggak buru-buru kok,” ujar Ghea sambil tersenyum. Tiba-tiba saja ia terlihat lebih cantik dari biasanya.

Sambil mengatur nafas, aku duduk di hadapannya dan sedikit berbasa-basi. Ia menanyakan apakah aku masih lapar, aku bilang tidak.

“Nah, soal yang mau saya tanyain itu soal ini,” Ghea mengeluarkan lembaran diktat kuliah, lalu menunjuk satu halaman.

“Oh itu…. Kalau yang itu sih…” aku terdiam.

“Kenapa?”

Kalau aku berlama-lama di sini, bisa-bisa Tania dan pacarnya menemukanku, siapa tahu tadi mereka mengejar dari belakang? Bukannya aku takut lelaki itu membalas pukulanku, tapi aku tidak sanggup bertemu Tania. Aku harus segera pergi dari sini.

“Wah… kalau soal yang itu catatanya ketinggalan di tempat kos. Padahal itu lengkap banget,” jawabku.

“Oh ya sudah, kalau gitu….”

“Gimana kalau kita diskusinya di tempat kos-ku aja?” ucapku memotong.

Ghea terdiam, ia sepertinya terkejut. Lalu samar-samar aku seperti dapat melihat pipinya memerah. Setelah itu dia tersenyum lebar.

“Boleh aja!” ucapnya.

***

Aku pergi bersama Ghea ke tempat kos-ku. Sebenarnya ini ide yg buruk, mengajak perempuan ke dalam kamar tanpa persiapan apa-apa. Aku bisa membayangkan seberapa berantakan kamarku, belum lagi cd film-film porno yg mungkin masih berserakan.

“Haha… Kamar cowok!” ia tertawa ketika aku membuka pintu.

Aku menyingkirkan beberapa buku yang berserakan di atas kasur dan menyuruh dia duduk. Tidak lama kemudian, tiba-tiba ia berteriak senang ketika melihat sebuah gitar tua yang kuletakkan di sebelah lemari pakaian. Tanpa meminta izin, dia pun mengambil gitar itu dan membawanya ke atas kasur.

“Ternyata suka main gitar ya?” tanyanya.

“Dulu sempat pingin belajar, tapi sekarang sih cuma jadi pajangan,” aku tersenyum, duduk di sebelahnya.

Seperti lupa tujuan awalnya datang ke sini, ia langsung memainkan gitar itu dengan jari-jarinya yang lentik. Lalu dia pun mulai bernyanyi.

“Knock knock knock, knocking on heaven’s door….”

Aku tiduran di sebelahnya, sementara ia duduk bernyanyi di sebelahku. Seketika saja, Ghea seperti berubah lagi menjadi gadis rocker yang kulihat di atas panggung waktu itu, rasanya dia seperti punya kepribadian ganda.

Sambil mendengar suara merdu Ghea, aku melamun, aku teringat pada semua hal yang kualami bersama Tania. Kalau saja, seandainya saat itu di bioskop aku tak tanpa sengaja menyenggol dada Tania, dan tidak datang ke kost-nya esok harinya, mungkin semua ini tidak akan terjadi.

Mungkin kami masih akan tetap bersahabat seperti biasa, tanpa ada embel-embel apapun. Mungkin aku masih akan menyimpan perasaanku dalam-dalam, tapi tak akan sesakit ini. Ya, pastinya aku jg tak akan pernah melakukan hal-hal intim itu bersama Tania, tapi artinya semua itu kalau akhirnya jadi begini?

“…that cold black cloud is comin’ down, feels like I’m knockin’ on heaven’s door…”

Melihatku melamun, Ghea tiba-tiba saja menepuk pahaku.

“Abis mukul orang, terus ngerasa bersalah ya?” ucapnya tiba-tiba.

Aku kaget bukan main, aku bangkit duduk dan menatapnya. Darimana dia bisa tahu hal itu? Jangan-jangan….

“Tadi saya lihat dari jauh, sebelum masuk ke kedai bakso. Masalah cinta segitiga nih kayanya? Hehehe…, sori kalau pengen tau!”

Aku kembali rebahan di atas kasur dan menghela nafas. Lalu Ghea kembali memainkan gitar dan berdendang ringan. Mungkin karena terhipnotis oleh suaranya yang merdu, aku akhirnya menceritakan semua itu.

Aku menceritakan semua yang terjadi padaku dan Tania…, perasaanku yang sudah kupendam sejak lama, hubungan skandal rahasia kami, dan pacar baru Tania yang membuatku naik darah.

Ghea mendengarkan dengan serius, ia sama sekali tak kaget waktu aku ceritakan skandalku dengan Tania, ia juga tidak terlihat merendahkan, ia malah terlihat simpatik.

Lalu Ghea ikut tiduran di sampingku, sambil masih memetik gitar.

“Kak Adi mungkin nggak tau, kalau sebenarnya Kak adi itu sering jadi bahan pembicaraan adik-adik kelas, sebagai cowok yang sopan, berkharisma, baik hati dan kalem. Tapi lucunya, aku nggak kaget waktu tau rahasia pribadi Kak Adi yang bertolak belakang….” ucapnya dengan suara yg pelan, “dan mudah-mudahan Kak Adi juga ga kaget kalau tau bahwa….”

“Bahwa apa?”

“Bahwa cewek kaya saya ini… yah, yang kata orang sih populer, cantik, keren, gaul, dan hehehe”

Aku menyikut pundaknya, ia balas menyikut pinggangku, lalu tertawa.

Ia melanjutkan ucapannya, “…iya, bahwa cewek kaya saya ini, ternyata diam-diam udah lama… naksir Kak Adi.”

Deg!

Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Baru kali ini ada perempuan yang terus terang mengatakan itu padaku. Bahkan Tania tak pernah satu kalipun mengatakan kalau ia menyukaiku. Aku menoleh ke arah Ghea yang tiduran di sebelahku.

Ia sedang menutupi wajahnya yang memerah dengan tangan. Sangat cute, kemana perginya gadis rocker yang tadi asik bernyanyi? Aku tertawa dalam hati. Tiba-tiba saja aku juga tertarik mengeluarkan sisi diriku yang lain.

“Main gitar lagi dong!” ucapku sambil bangkit duduk. Ia juga ikut duduk.

“Huuu! Maunya konser gratis! Bayar tiket dong!” ia menjulurkan lidah, lalu membetulkan kacamata merah maroon-nya.

“Kan aku yang main drum.”

“Oke!”

Ghea memainkan gitarnya, tapi kemudian berhenti. Ia memicingkan matanya.

“Mana? Katanya Kak Adi mau main drum? Kok diem aja? Pukul-pukul kaleng biskuit kek, apa gitu,” ia protes.

“Aku lagi main drum kok!”

“Mana?”

“Nih…,” aku meraih tangan kirinya, lalu menuntun telapak tangannya itu ke arah dadaku.

“Kedengeran ngga? Blast beat nih drumnya!”

Ia tertawa terbahak-bahak, bahkan sampai memegangi perutnya. Matanya berkaca-kaca karena terlalu lama tertawa.

“HAHAHAHAHAHA! Gombal parahhh! Sakit perut nih!”

Aku senyum-senyum mendengarnya. Selesai tertawa, ia menarik tanganku ke arah dadanya, gantian katanya.

“Bukan cuma Kak Adi aja yang dari tadi main drum!”

Telapak tanganku menempel di dadanya, di atas kancing kemeja yang bagian atasnya ia biarkan terbuka. Sekarang aku jadi gugup.

“Ohiya, posisi jantung kan agak ke kiri dikit ya,” ujarnya. Ia menggeser tanganku ke sebelah kiri dadanya, tepat di atas payudara kirinya. Mata kami saling bertatapan. Di balik kacamata persegi itu aku dapat melihat kedua matanya yang terlihat agak sayu. Apalagi ketika tanganku bergeser agak ke bawah.

“Kerasa nggak?” tanyanya.

“Apanya?”

“Detak jantungnya lah. Emang ada yang lain?”

“Hmm… Ada…”

Pelan-pelan telapak tanganku bergeser semakin ke bawah. Aku bisa merasakan ada bukit yang menonjol di dadanya. Ghea terlihat menahan nafas, matanya semakin sayu.

Dengan lembut, jari-jemariku mulai memijit payudara Ghea dari luar kemejanya. Ternyata ukurannya lebih besar dari yang kukira. Hampir dua kali lebih besar dari milik Tania, tapi masih pas di telapak tanganku. Aku meremas-remas payudara kiri Ghea dengan satu tangan, sambil terus memperhatikan ekspresi wajahnya.

“Mhhh…” suara lenguhan pelan keluar dari bibir Ghea. Suara yang sangat merdu, suara lenguhan paling merangsang yg pernah kudengar. Spontan saja penisku berdiri di dalam celana.

“Satunya lagi….” bisiknya. Menuruti perintahnya, aku pun meraih payudaranya yang sebelah kanan. Sekarang kedua gunung kembar itu sudah kugenggam, lalu kupijat perlahan-lahan. Rasanya sungguh kenyal dan kencang. Luar biasa.

“Ghe, buka aja ya?”

“Mmmmh…. iyah….”

Aku penasaran dengan belahan dada yang sejak tadi mengintip dari kerah kemejanya. Lalu dengan perlahan-lahan aku membuka kancing kemeja Ghea, satu-persatu.

Semakin banyak kancing yang kubuka, semakin jelas terlihat payudaranya yang bulat menggoda. Ia mengenakan bra putih yang sangat seksi. Aku kembali meremas kedua payudara Ghea.

Lalu tanpa diminta, ia melepas kacamata yang ia kenakan, kemudian ia mencium bibirku dengan ganasnya. Aku didorongnya sampai telentang di kasur, kemudian ia naik ke atasku dan kembali menciumi bibirku.

“Kak… kalau buat saya, Kak Adi adalah cowok yang paling spesial,” ucapnya dengan nafas yang memburu….

“Kak… kalau buat saya, Kak Adi adalah cowok yang paling spesial,” ucapnya dengan nafas yang memburu. Ia kembali melumat bibirku, ciumannya sangat ganas, sangat terlihat kalau ia sudah berpengalaman.

Lidahnya masuk ke dalam mulutku dan mencoba bersentuhan dengan lidahku. Sisi liar Ghea muncul keluar, ia bahkan sesekali menggigit bibirku. Aku jadi kewalahan, dibandingkan dengannya, aku masih sangat cupu.

Tapi aku tidak mau kalah. Langsung kubalikkan tubuhnya sehingga ia ada di bawahku. Kusibak rambut panjangnya yang indah, lalu kuciumi lehernya. Ia mendesah menahan geli.

“Aw! Geli!” ia menjerit pelan.

Tanganku terus meremas-remas buah dadanya, sesekali memilin putingnya yang sudah mulai menegang. Sejujurnya, aku tak menyangka hal seperti ini akan terjadi sewaktu mengajaknya masuk ke dalam kamar. Tapi aku sungguh tak bisa menolak Ghea.

Ciumanku turun dari leher ke belahan dadanya, lalu ke puting kanannya. Kujilat-jilat putingnya, ia pun mendesah semakin keras.

“Aaah… Mmmmh….” suaranya sangat merdu, rasanya aku tidak ingin berhenti mendengarnya.

Aku bergantian menghisap kedua putingnya, dan ia terus-menerus mengelus-elus rambutku.

“Mmmh…Lebih besar mana sama punya Tania?” ia bergumam sambil mendesah, melemparkan satu pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Aku tak ingin membicarakan Tania, sebab yang ada di hadapanku sekarang adalah Ghea. Jawabannya sudah jelas, buah dada Ghea lebih besar dan lebih nikmat.

Srurrrpt!

“Awwwh!”


“Enak?” tanyaku.

“Banget!”

Ciumanku turun dari payudaranya ke parah perutnya yang ramping. Kumainkan lidahku di sekeliling pusarnya, Ghea menggelinjang kegelian. Sementara itu tanganku melepaskan celana jeans-nya secara perlahan-lahan. Ghea tampak tidak keberatan, ia bahkan membantu membukakan celananya.

Setelah celana jeans-nya terbuka, aku dapat melihat celana dalam putih yang ia kenakan. Aku mengelus-elus kedua pahanya yang mulus, lalu menciumi lututnya. Ghea tampak kegelian dan menggerak-gerakkan kakinya.

“Jangan gerak-gerak, nanti kepalaku kena tendang!” protesku.

“Sorii! Abisnya geli!”

Ciumanku menjalar dari lutut, ke pahanya, lalu ke selangkangannya. Cuma ini cara yang kutahu untuk memuaskan wanita, cuma sampai hal ini saja batas pengalamanku. Aku memerosotkan celana dalam Ghea, dan terlihatlah vaginanya yang sudah dicukur bersih dan mulus.

Kepala Ghea menengadah, memandangi langit-langit kamar kostku. Dengan gerakan yang lihai, aku langsung menjilati vagina Ghea. Ia pun semakin berkelojotan, terpaksa aku memegangi kedua kakinya.

“Aaaaah… uuuh… Kak Adi.. baru pertama kalinya aku diginiin… Uuuh… Nggak tahan….”

Jilatanku semakin liar. Kumasukkan lidahku ke sela-sela lubang vaginanya, lalu kugerak-gerakkan. Tak lupa semua teknik oral yang pernah kulihat di film porno kupraktekkan pada vaginanya. Ia semakin merasa nikmat, desahannya berubah jadi jeritan-jeritan tertahan, lalu erangan yang sangat merdu.

“Gilaaaa…. Arrrghhhh….!” Ghea mengerang panjang, namun aku menghentikan permainanku. Tiba-tiba saja aku merasa seperti mengalami de javu. Beberapa detik tadi aku sempat lupa kalau vagina yang ada di hadapanku adalah milik Ghea, bukan Tania.

“Hah.. hah… Kenapa berenti…?” keluh Ghea manja.

“Ngg.. Nggak apa-apa…” jawabku.

“Udah nggak tahan… masukin aja Kak.”


Aku termenung mendengar permintaannya, “Masukin?”

Ghea menatapku, matanya seperti heran kenapa aku bertanya.

“Iya, masukin punya Kak Adi…Kont0l Kak Adi… uuhh.”

Aku ingat aku belum pernah melakukan ini, sebab Tania selalu melarangku menembus keperawanannya. Mungkin Ghea memang sudah tidak perawan, tapi entah kenapa aku jadi merasa agak canggung.

Melihatku yang tak juga menuruti permintaannya, Ghea bangkit dari posisi tidurnya, lalu bergegas membuka celanaku. Dengan gerakan yang seperti sudah terlatih, ia segera mengeluarkan penisku yang sudah berdiri tegang. Lalu ia menggenggamnya menggunakan tangan kanannya.

“Aku bikin lebih tegang lagi ya Kak, tapi jangan keluar dulu.”

Ghea mengocok-ngocok penisku dengan tangannya, lalu tanpa ragu ia langsung memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Ia menghisapnya dengan lembut, batang penisku terasa disedot sampai ke bagian terdalamnya.

“Oooohh…” aku mendesah tak tertahankan, Ghea masih terus menghisap penisku, sesekali kepalanya maju mundur.

Kemudian ia menghentikan gerakan kepalanya dan malah mendorong pinggulku ke arah mulutnya.

“Kak…. entotin mulut Ghea…” ucapnya dengan suara yg sulit terdengar karena penisku masih ada di mulutnya.

Aku terkesima dengan permintaannya yang berani itu, tapi aku tak mungkin menolak. Dengan kedua tangan, aku memegangi kepalanya dan rambutnya yang hitam panjang.

Kudorong penisku ke arah mulutnya, lalu kutarik sedikit. Kudorong lagi, tarik lagi. Semakin lama penisku terdorong masuk semakin dalam ke mulutnya, hampir ke tenggorokannya. Rasanya sungguh luar biasa, tulang belakangku seperti mau lumer saja.


Dengan nafsu yang membumbung tinggi, aku menggenjot mulut Ghea, semakin lama semakin cepat. Sesekali Ghea seperti hampir terbatuk-batuk, tapi ia menolak untuk melepaskan penisku.

Sampai pada saat sodokan penisku di mulutnya menjadi sangat kuat, Ghea menarik mulutnya, ia batuk berat dan hampir muntah, air liur menetes dari mulutnya yang sejak tadi tak bisa bergerak.

“Ghe, kamu nggak apa-apa? Maaf ya, maaf!” ucapku khawatir melihatnya.

“Hoek! Uhuk uhuk! MMmmmng…. Nggak apa-apa… Hemmm….Nggak apa-apa kok,” jawabnya sambil berusaha tersenyum.

Setelah nafasnya kembali tenang, ia telentang di atas kasur, lalu menuntun penisku ke dekat vaginanya. Sambil menggenggam penisku, ia menggesek-gesekkannya ke bibir vaginanya yang sudah basah. Ia ingin aku memasukkannya.

“Kamu yakin, Ghe?” tanyaku.

Mendengar pertanyaanku, Ghea tertawa cekikikan. “Biasa aja kali, Kak. Nggak usah gugup gitu.”

“Oh kamu udah sering ya?” tanyaku.

“Nggak sering, pernah sekali. Tapi buat Kak Adi, berapa kali pun boleh.”

Aku mendorong penisku ke bibir vaginanya. Rasanya sangat sempit, aku sampai tidak tahu harus mendorongnya seperti apa.

“Nih saya bantuin Kak, pelan-pelan ya,” ucap Ghea.

Dengan bantuan dari tangan Ghea dan gerakan pinggulnya, akhirnya penisku bisa masuk juga ke dalam vaginanya. Rasanya sungguh luar biasa. Rasa hangat, lembut, dan jepitan dinding-dindingnya di batangku membuat pikiranku melayang entah kemana. Aku memeluk tubuh Ghea dan mencium bibirnya, lalu Ghea berbisik.

“Kak Adi nggak usah nungguin Tania lagi ya? Kalau sama saya, semuanya saya kasih…”

Aku mulai menggerakkan pinggulku perlahan-lahan. Penisku keluar masuk di vagina Ghea, bergesekan tanpa henti, merasakan cengkraman vaginanya yang sangat kuat.

“Ahhh…”

“Ooohh… gimana kak rasanya kehilangan keperjakaan?” ledek Ghea sambil berusaha tertawa.

“Rasanya… rasanya kaya begini…” aku mempercepat genjotanku, membuat sodokan-sodokanku semakin kuat.

“Ahhh! Ahh! Ohh! Nikmat!” Ghea menjerit-jerit setiap kali penisku menusuk bagian dalam vaginanya.

“Iya, nikmat. Ohh ohh!”

Lama-kelamaan genjotan pinggulku semakin stabil, Ghea juga sepertinya semakin bisa mengendalikan nafas. Aku meremas-remas payudaranya, lalu mengecup bibirnya. Sambil terus menggenjot, aku mengambil kacamata Ghea yang tadi ia lepas di dekat kasur. Lalu aku memakaikan kacamata itu pada Ghea, ia tersenyum melihat tingkahku.

“Kayanya kamu lebih seksi kalau pakai kacamata,” ucapku menggodanya.

Permainan kami semakin lama semakin intens. Sesekali aku memutar-mutar penisku di dalam vagina Ghea, membuat dia menggelinjang. Sesekali juga aku mencampur antara genjotan cepat dan gesekan lembut.

Setengah jam berlalu, permainan kami mulai mendekati klimaksnya. Aku dapat merasakan penisku seperti akan meledak, sementara Ghea sudah terengah-engah dan tak bisa berkata apa-apa lagi selain desahan dari mulutnya.

“Ah… ah… ah… Kak… Ah… Ah.. oh… sebentar lagi… “

“Ugghh… Ghe… Ohhh… sama… juga… ahhh”

Dalam keadaan seperti itu suasana kamar di sekelilingku seperti lenyap. Itulah kenapa aku tak sadar ketika ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Aku tak menggubrisnya, aku terus menggenjot Ghea tanpa henti.

Hingga aku sadar kalau pintu kamarku tadi lupa dikunci, dan terbukalah pintu kamar itu, lalu Tania melangkahkan kakinya masuk.

Tania melihatku. Tania melihat kami. Ekspresi wajahnya sangat pucat ketika ia membuka pintu kamarku lalu memergoki aku dan Ghea yang sedang bercinta dengan penuh gelora. Mata Tania melotot, seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat.

Anehnya, aku tak bisa menghentikan gerakanku. Ghea juga sepertinya sudah tak sanggup lagi memikirkan keadaan di sekelilingnya. Sambil disaksikan oleh Tania yang mematung karena shock di depan pintu, aku mempercepat genjotanku di vagina Ghea, hingga akhirnya aku dan Ghea mencapai orgasme secara bersamaan.

“Aaaaaarghhh!!! Aaaaah!” aku dan Ghea menjerit hampir bersamaan, seolah seperti paduan suara yang sedang menyanyikan nada tinggi.

Spermaku muncrat di dalam vagina Ghea, sementara Ghea mengeluarkan jeritan panjang dan punggungnya melengkung seperti busur. Tubuh kami lumer menjadi satu, keringat kami bercampur dalam jeritan.

Tania masih di depan pintu, seperti patung yang beku. Kecuali air matanya yang perlahan-lahan menetes keluar, memperhatikan aku dan Ghea yang masih terengah-engah menikmati sisa orgasme kami.

Air mata Tania semakin banyak keluar, dan ketika hampir membanjiri pipinya, ia pun membalikkan badan dan lari sekencang-kencangnya dari kamar kost-ku.

Aku bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Tania menangis? Kenapa? Entah mengapa, aku juga jadi ingin menangis. Tapi Ghea segera memeluk kepalaku dan mendekapnya. Kami tertidur di atas kasur, di dalam kamar, dengan pintu yang terbuka.

Tatapan dan air mata Tania terus menghantuiku sejak saat itu. Walau ada segudang alasan yang bisa kubuat supaya aku tidak usah peduli, tapi kenyataannya aku merasa hidupku hancur berantakan. Rasanya bernafas saja susah.

Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang telah terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu kuteriakkan dalam hati tiap kali aku mengingatnya.

Tepat setelah kejadian ironis itu selesai, Ghea sempat minta maaf padaku. Awalnya dia cuma terdiam. Kami kembali mengenakan pakaian kami yang tercecer di lantai kamar. Ia sedang mengancingi kemejanya, belum memakai celana, ia menatapku tanpa suara. Aku mengancingi celanaku dan menunggu ia mengeluarkan kata-kata.

“Maaf kak,” ucapnya.

Hatiku semakin retak mendengar permintaan maafnya. Ini bukan salah Ghea. Aku yang memulainya terlebih dulu. Lagipula kalau mau jujur, aku yang bersalah padanya.

Aku telah menggunakannya untuk pelampiasan nafsuku dan rasa kesepianku yg kelam. Bukan salah dia kalau akhirnya aku mendapat ganjaran dari perbuatanku sendiri.

“Bukan. Aku yang harusnya minta maaf. Aku khilaf.” jawabku.

Setelah itu ia memelukku. Pelukan yang tanpa nafsu, tapi penuh dengan rasa gelisah. Beberapa menit kemudian aku mengantarnya pulang.

***

Beberapa hari kemudian di kampus aku sempat bertemu dengan Santi dan geng power rangers yang lain, kecuali Tania. Beda dengan sebelumnya, kali ini Santi tidak terlihat terlalu murung. Kami duduk di kantin untuk makan siang bersama sambil ngobrol-ngobrol.

“Eh Bro, gimana tuh kabar nya si Saras?” tanya Rian pada Galih sambil menyikut lengannya. Saras adalah gebetan Galih yang pernah dia ajak bersama kami ke festival kampus.


“He he he… baik-baik aja kok.” Galih menggaruk-garuk lehernya, kebiasaan dia kalau sedang grogi.

“Tumben tampang lo kaya gitu. Biasanya kalo ngomongin gebetan tampang lo stay cool aja. Pasti ada yg beda nih sama gebetan lo yang satu ini?” Santi ikut-ikutan menyindir sambil melahap bakso di depannya.

“Bisa aja lo semua…., biasa aja kok.”

“Di, lo inget ga? Sewaktu abis nganterin kita pulang dari festival musik di kampus Z waktu itu, si Galih kan jalan terus tuh sama si Saras, kemana coba?” tanya Rian padaku.

“Hmmm… ke mana ya? Diajak ke rumahnya kali?” jawabku ragu-ragu.

Rian menoleh ke arah Galih sambil menggelengkan kepalanya dan berdecak-decak. “Lo bawa ke rumah?”

“Nggak lah!” sanggah Rian.

“Lo tunjukin koleksi bokep original lo ya?” ucap Santi. Galih tertawa terbahak-bahak.

“Sialan lo semua. Udah kaya wartawan infotainment aja dah! Waktu itu gue langsung nganterin dia pulang kok!” Galih membela diri.

Sewaktu kami sedang asyik menggoda Galih, Santi menngangkat panggilan masuk di hp-nya. Aku tidak terlalu jelas mendengar apa yang ia katakan, awalnya wajah Santi terlihat ketus, tapi tak lama kemudian seutas senyum terlihat di bibirnya.

“Woy, guys! Diem dulu sebentar! Coba tenang dulu!” ucap Santi setelah menutup teleponnya.

Kami semua terdiam dan memandangi Santi, penasaran dengan apa yang ingin ia katakan.

Santi memajukan kepalanya dan berbisik. “Guys, temen kita si ranger pink yang udah lama ga muncul katanya mau dateng ke sini… dan mau nraktir kita makan sepuasnya!”

DEG! Jantungku seperti berhenti berdetak. Sementara itu Galih dan Rian bersorak gembira, aku berusaha untuk ikut terlihat senang, padahal tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin.


Jantungku berdetak kencang, kakiku terus menerus mengetuk-ngetuk lantai. Seandainya aku bisa melarikan diri dari situasi ini. Mungkin aku bisa pura-pura pergi ke WC, lalu diam-diam pulang? Kalau nanti ada yang bertanya aku bisa bilang kalau aku ada keperluan mendadak.

Sebelum aku sempat melakukan itu, Santi sudah melambaikan tangannya dan tersenyum. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Santi, lalu aku dapat melihat Tania berjalan ke arah kami dari salah satu sudut kantin.

Ia memakai t-shirt ketat dan celana jeans seperti biasa. Namun ada hal yang berbeda dari biasanya. Tania memotong rambutnya. Sekarang rambut lurusnya jadi pendek seleher, memperlihatkan lehernya yang indah, membuat ia tampak lebih seksi.

Ia berjalan semakin mendekat, jantungku semakin cepat berdetak. Kemudian Tania menghampiri Santi dan cipika-cipiki seperti teman lama yang baru bertemu kembali.

“Buset! Potong rambut lo Tan?” goda Santi.

“Iya dong! Pantes ngga rambut baru gue?” ujar Tania sambil membelai rambutnya sendiri. Samar-samar aku dapat mencium wangi parfum Tania. Lebih harum dari biasanya. Saat ia bicara aku juga dapat melihat bibirnya yang dibalut lip gloss seolah tampak basah.

“Kemana aja lu?” sahut Rian.

“Iya, nggak pernah muncul. Pacaran mulu lo ya?” tambah Galih.

“Ada deeeh… Ntar gue jelasin!”

“Payah lo ah. Kasian tuh si Adi, kangen sama lo, daritadi diam terus… Hahahaha” ucap Galih. Tenggorokanku rasanya bagai tercekik mendengar ucapannya. Aku tahu dia cuma bercanda, tapi ucapannya begitu telak membuat aku dan Tania sama-sama terdiam.

“Hahahaha…. boro-boro gue kangen….. kangen band kali!” aku mencoba ikut bercanda, tapi jadi terdengar maksa.

Tania duduk di kursi kosong di sebelah Santi, tepat di hadapanku. Kemudian ia merebut es teh manis Santi dan menyedotnya tanpa meminta izin. Santi protes, dilanjutkan dengan candaan Galih dan Rian yang sangat garing.


Sekilas, pemandangan di hadapanku terasa sangat normal. Rasanya seperti suasana persahabatan kami dulu, suasana yang nyaman dan menentramkan yang sangat kami rindukan. Seandainya saja semua bisa kembali seperti dulu. Tapi aku tahu saat ini ada yang berbeda, setidaknya bagiku dan Tania.

“Jadi begini kawan-kawan…” Tania mulai membuka suara, “gue minta maaf kalau selama ini gue sering ngilang dan jarang ngumpul sama kalian… gue emang sempat ada masalah yang makan perhatian banget. Tapi sekarang…., gue bawa kabar gembira.”

“Kabar gembira apa Tan?” tanya Rian penasaran.

Tania dan Santi senyum-senyum, mereka sudah mengetahui sesuatu. Selama beberapa detik, Tania melirik ke arahku, kemudian kembali membelokkan pandangan.

“Gue…Ehm… Sebentar lagi gue bakal… tunangan.” ucap Tania. Suaranya agak gemetar ketika mengucapkan itu.

Sorak sorai Rian dan Galih terdengar bersahutan, Santi mengacak-acak rambut pendek Tania. Galih mengangkat gelas es tehnya dan mengajak kami semua bersulang, seperti adegan bar di film-film.

Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, aku tahu dengan siapa dia akan bertunangan. Sesi wawancara pun dimulai. Galih, Rian dan Santi bergantian menanyai Tania soal rencana pertunangannya itu.

Dengan kaki yang lemas, aku bangkit berdiri, lalu mengulurkan tanganku ke arah Tania. Aku berusaha tersenyum.

“Selamat ya…” ucapku.

Tania menyambut tanganku. Ia berusaha tersenyum, tapi pandangan matanya terus menunduk.

Aku tidak tahan lagi, aku harus segera pergi dari sini.

“Eh guys, sori ya. Gue harus cabut duluan nih. Gue baru inget kalau siang ini gue udah ada janji sama dosen,” ucapku dengan terburu-buru.

“Ah nggak asik lo di!” gerutu Rian.

“Iya… Rugi lo, nggak dapet traktirannya Tania,” ujar Galih.

“Sori, sori banget!” ucapku. Kemudian aku menoleh ke arah Tania.

“Maaf ya, Tan.” ucapku.

Teman-temanku yang lain mungkin berpikir aku meminta maaf karena tidak bisa mengikuti acara perayaannya, tapi aku dan Tania sama-sama tahu, kata maaf itu punya makna yang lain, makna yang lebih dalam dan lebih luas.

“Maaf, gue harus pergi sekarang,” ucapku lagi.

Saat aku membalikkan badan dan berlari keluar dari kantin, tak ada yang menahanku. Tapi sepertinya aku mendengar suara Tania memanggil namaku pelan. Tapi… mungkin itu cuma imajinasiku saja.

***

Di depan kampus, tanpa sengaja aku bertemu Ghea. Ia sedang di tempat fotokopi, ia melihatku dan melambaikan tangan, seolah tak terjadi apa-apa di antara kami.

“Ghe, ikut yuk!” aku menarik tangannya. Untung ia sudah selesai memfotokopi.

Aku mengajaknya naik motorku, pergi ke sebuah kafe yang letaknya agak jauh dari kampus. Sebenarnya aku tak bermaksud menjadikannya sebagai pelarian, tapi masalahnya cuma dia saja yang mengetahui soal hubunganku dengan Tania, aku tak tahu lagi harus bercerita pada siapa kalau bukan dengan Ghea.

Selama di perjalanan, ia memeluk punggungku dengan erat, seperti orang yang sedang berpacaran. Aku dapat merasakan buah dadanya yang menempel di punggungku, tapi pikiranku sedang kacau, jadi aku tak bisa menikmati hal itu.

Di kafe, kami duduk di sebelah pojok. Tak lama kemudian pelayan datang dan kami pun memesan minuman dingin.

“Kenapa Kak?” tanya Ghea sambil membetulkan posisi kaca matanya.

Aku menghembuskan nafas gelisah, kemudian mulai bercerita tentang apa yang terjadi di kantin tadi. Ghea menatapku sambil manyun, kemudian menyedot minuman yang baru saja diletakkan pelayan di meja kami.

“Jadi, Kak Adi masih mengharapkan Tania?” tanya Ghea.

“Nggak…. Nggak tau….” jawabku. Aku memang tidak tahu apa yang sebenarnya kuharapkan.

“Mungkin Kak Adi cuma gelisah karena penasaran. Karena belum pernah ngungkapin perasaan Kakak yang sebenarnya ke dia, kan?” ucapnya lagi.

Aku termenung. Mungkin benar yang diucapkan Ghea. Mungkin perasaanku adalah semacam obsesi.

“Jadi menurut kamu?”

“Kak Adi harus ungkapin dengan jujur apa yang Kak Adi rasain selama ini pada Tania secara langsung, supaya nggak ada beban lagi. Setelah itu….” Ghea menghentikan ucapannya.

“Setelah itu?”

“Setelah itu, lupain dia.”

Aku terhenyak. Melupakan Tania?

“Tapi….” gumamku ragu-ragu.

“Habis mau gimana lagi? Kalian sama-sama udah buat pilihan masing-masing kan? Tania udah punya tunangan… dan Kak Adi…. udah punya saya.”

Aku kembali terkejut dengan ucapan Ghea. Aku mulai bisa menebak. Jangan-jangan apa yang terjadi di antara kami waktu itu dia anggap sebagai tanda bahwa kami….

“Ghe… di antara kita nggak ada apa-apa.” ucapan itu begitu saja keluar dari mulutku.

Genggaman tangan Ghea di gelasnya tiba-tiba saja menjadi sangat erat, tangannya terlihat agak gemetar. Ketika aku melihat wajahnya, aku dapat melihat api yang membara di balik kaca mata itu. Ia sungguh menyeramkan. Sepertinya ia bisa memukulku dengan gelas kaca itu kapanpun ia siap.

“Denger ya Kak…. saya memang bukan perempuan yang sok suci seperti Tania… tapi saya juga bukan pelacur munafik seperti dia yang bisa Kak Adi jadiin sex friend seenaknya tanpa komitmen apa-apa!”

Ghea bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari kafe dengan penuh amarah. AKu menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan dan berteriak dalam hati. Aku kira berbicara dengannya bisa membuatku lebih tenang. Aku salah, aku malah semakin terpuruk.

Malam ini saat mulai tidur kepalaku terasa berat. Aku gelisah selama beberapa jam, namun menjelang dini hari akhirnya aku bisa tertidur juga. Aku tidak tahu berapa lama aku tidur, sepertinya sebentar, karena ada sesuatu yang membuatku terbangun.

Ada yang mengusik badanku saat aku sedang tertidur lelap. Sebuah benda berat menindih lenganku. Aku membuka mata dan melihat lampu kamar masih menyala, sepertinya aku tadi lupa mematikannya.

Mataku terasa perih, lalu aku mengedip-ngedipkannya sebentar, sampai mataku mulai terbiasa. Lalu saat aku melihat ke sebelah kiri, aku terkejut. Benda berat yang menindih lenganku adalah Tania.

Tania tiduran di sebelahku. Kepalanya ada di dekat pundakku, sementara badannya memeluk erat lengan kiriku. Ia mengenakan kaos putih tipis dan celana pendek longgar, wangi sabun dari tubuhnya bisa kucium dengan cukup jelas.

Kenapa ia bisa ada di sini? Jantungku berdetak kencang. Aku ingat, mungkin aku lupa mengunci pintu kamar ketika akan tidur tadi. Aku kelelahan dan pikiranku kacau, aku sampai tak ingat mengunci pintu.

“Di….,” Ucap Tania agak mendesah. Rupanya ia tidak tidur.

Tania menegadahkan kepalanya, berusaha menatap wajahku. Jarak wajahku dan wajahnya kini hanya beberapa senti.

“Maafin gue, Di…. Gue tau gue yang salah,” ucapnya pelan.

Aku berusaha menenangkan diriku. “Tan… kenapa lo tiba-tiba ke sini?”

Tania menghela nafas, lalu memeluk lenganku dengan lebih erat. Aku dapat merasakan gesekan payudaranya dari luar kaos yang ia kenakan.

“Hmmmm…. gue pengen, Di…”


Aku kaget mendengar kata-katanya. Ucapan Tania berhasil membuat darahku berdesir. Sebelum aku sempat mengucapkan apa-apa, tiba-tiba Tania mencium leherku, lalu tangannya meraba penisku dari luar celana boxer yang aku pakai.

“Tan…. kenapa lo tiba-tiba jadi… “

“Mmmmmh….. Mmmmhhh…” bibir kami langsung beradu, saling lumat dan saling hisap. Oooh, sungguh aku merindukan bibir ini. Aku merindukan kelembutan bibirnya setelah sekian lama.

Tangan Tania menyelinap ke balik celanaku, lalu ia mengambil batang penisku dan mengeluarkannya dari celana. Dengan gerakan yang pelan dan lembut ia mulai mengocoknya, sementara itu bibir kami terus berpagutan.

Refleks, tanganku juga menyelinap ke balik kaosnya dan mencari gunung mungil yang sudah lama kurindukan. Aku meremas payudara kiri Tania dan memainkan putingnya. Putingnya sudah keras dan tegang, sangat enak untuk dimainkan menggunakan jari.

Tania bangkit, ia duduk di atas lututku. Lalu ia mengarahkan penisku yang sudah berdiri tegak ke arah selangkangannya yang masih terhalang celana. Pelan-pelan ia menggesek-gesekkan ujung penisku ke selangkangannya.

“Hhhhh…. gue kangen sama kont0l lo, Di…. Mmmhhh…”

Tak lama kemudian ia memerosotkan celananya sendiri beserta celana dalamnya. Terlihatlah vaginanya yang bekas dicukur dan masih tak berubah seperti dulu. Tania menggesek-gesekkan ujung penisku di bibir vaginanya namun tampak berhati-hati.

“Tan…. Ohhh….” aku tak sanggup menahan desahan.

“Uhhh… cuma gesek-gesek aja ya Di…. ini yang terakhir kalinya…” desah Tania.

Mendengar kata-kata itu tiba-tiba saja aku jadi merasa agak kesal. Aku tidak mau. Aku tidak mau cuma sekedar begini. Aku menginginkannya. Aku ingin tahu apakah dia masih perawan atau tidak saat ini. Aku tidak mau kehilangannya.

Tanpa minta izin terlebih dahulu, aku menarik kedua tangan Tania, lalu aku lempar tubuhnya ke atas kasur. Aku menindihnya, kutahan kedua lengannya dan kulebarkan kedua kakinya.

“Aw! Di! Lo mau ngapain?” Tania protes.

“Please, Tania…. Gue mau jadi yang spesial buat lo… gue mau….” ucapku sambil berusaha menahan tangannya yang meronta-ronta.


“Jangan Di… gue udah, gue udah tuna.. nga… aaaaaah!”

Dengan gerakan yang memaksa, kepala penisku masuk ke dalam bibir vagina Tania. Ia masih berusaha melawan, tapi tenagaku lebih kuat dalam menahan gerakan tangan dan kakinya.

Kudorong lagi pinggulku ke arah depan, penisku masuk semakin dalam ke lubang vagina Tania. Oooh… rasanya sungguh luar biasa.

Rasanya berbeda dengan lubang vagina Ghea, milik Tania terasa lebih hangat dan lebih lembut. Kuteruskan mendorong penisku, lalu kugunakan sedikit tenaga hingga batang penisku masuk seluruhnya ke vagina Tania.

“Adiiii…! Aghhh! Sakiiiit! Sakit Di….!” Tania menjerit. Gerakan tangannya berubah menjadi lemas, dan sedikit demi sedikit ia berhenti melawan. Tapi ia mulai menangis.

“Tan… jangan nangis… please gue minta maaf,” ucapku.

“Sakiiit…. lo jahat….. “

Aku melihat ke arah vagina Tania, lalu aku menemukan bekas darah yang membasahi seprei kasurku. Aku terkejut. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan sekarang.

“Lo masih perawan, Tan?” tanyaku terbata-bata.

“Sekarang udah nggak, bego lo! Bego!” Tania memeluk leherku dan berusaha menghentikan tangisannya.

Aku tidak mau menyia-nyiakan ini. Perlahan aku mulai menggenjot vagina Tania, awalnya agak pelan karena aku tidak ingin menyakitinya lebih lanjut. Dinding vagina Tania terasa sempit dan meremas-remas batang penisku. Jadi seperti inilah vagina dari perempuan yang selama ini selalu kurindukan, yang selalu kuinginkan. Luar biasa.

“Aaaaaah…. Aaakhh… Ooouhhh…” Aku terkejut mendengar Tania mulai mendesah. Ternyata ia cepat bisa menikmati ini.


“Udah nggak sakit kan, Tan?” tanyaku sambil mempercepat genjotan.

“Nggak…. ahhh enak… mmhhh….” desah Tania.

“Gue cepetin lagi ya?”

“Uuhh… Iya Kak… yang cepet… terus Kak….”

“Hah? Tan? Sejak kapan lo manggil gue Ka…..”

Tania melepaskan pelukannya, lalu aku dapat melihat wajahnya. Ia bukan Tania! Ia Ghea! Bagaimana mungkin? Tidak masuk akal!

Ghea berbaring di bawahku, kakinya direntangkan lebar, tangan kirinya meremas-remas payudaranya sendiri. Ghea tampak tersenyum, tapi ia terus menggerak-gerakkan pinggulnya supaya aku tidak berhenti menggenjotnya. Ia tersenyum sambil mendesah, lalu perlahan ia mengacungkan jari tengahnya ke depan mataku.

Aku gemetar sekujur tubuh. Dengan sangat cepat, Ghea bangkit dan mendorong tubuhku. Aku jatuh terlentang, lalu kepala Ghea turun hingga ke depan penisku. Ia kemudian menghisap penisku dengan mulutnya. Lalu ia menggigitnya. Ia menggigit penisku! Krauk! Krauk! Aku menjerit sekuat tenaga. Aaaaaaaa!

Lalu aku terbangun di atas tempat tidur. Cuma mimpi? Tidak ada siapa-siapa di sampingku. Tidak ada Ghea, tidak ada Tania. Aku masih sendiri.

TAMAT

CERITA TERBARU